DUA PULUH ENAM

27.6K 1.2K 21
                                    

"Beni!" panggil Luna melihat Beni yang sedang berjalan sama Manda.

"Eh Luna? Ada apa?"

"Bintang mana?"

Sedari tadi Luna bolak balik kelas Bintang, Luna sudah mencari setiap sudut satu sekolahan hasilnya nihil.

"Bintang nya udah pulang,"

"Cuma ngerjain PR aja."

"Gue boleh minta alamatnya nggak?"

"Boleh."

Luna menyodorkan ponselnya kepada Beni, Beni menulisnya dengan rinci. Manda sedikit bingung. "Lo mau kemana Lun?"

"Kerumah Bintang,"

"Ngapain coba?"

"Minta maaf jangan?"

"Minta maaf aja." sambung Beni sambil mengembalikan ponselnya. Luna berlari sambil mengangkat tangannya -terimakasih-

<><><><>

Seingat Luna, Luna pernah kerumah Bintang, waktu Bintang mengajaknya pergi. Dengan keberaniannya, Luna mengetuk pintu hitam itu.

Seorang pria membuka pintu untuknya, kelihatan sudah tua. Pasti ini ayahnya Bintang.

"Permisi Om, saya Luna. Mau cari Bintangnya."

"Kamu Luna? Wah kebetulan Bintang sering cerita tentang kamu. Bintangnya ada di dalam." jawab pria itu ramah.

"Duduk disini aja, Bintangnya mungkin masih dikamar. Saya mau lanjut kerja dulu." pamit ayahnya Bintang.

Antariksa yang sedang membawa mainannya melewati ruang tamu yang berisi wanita cantik yaitu Luna.

"Kak Luna!!!" panggil Antariksa sambil berlari kearah Luna. Luna dengan sigap berdiri dan memeluk Antariksa.

"Hai Riksa." kata Luna sambil memeluk erat.

"Kangen tau, Kak Luna nggak pelnah kesini."

"Kak Luna sibuk, Bintang nya ada nggak?"

"Ntar dulu ya, di panggilin, kadang suka budeg."

Luna tertawa. "Iya,"

Luna melihat beberapa foto yang terpampang diatas kepalanya.

 'Bintang ganteng, Antariksa jelek ompong berponi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

'Bintang ganteng, Antariksa jelek ompong berponi.'

Luna terkekeh, tulisan itu adalah tulisan Bintang.

Tiba tiba Antariksa memanggil Luna.

"Katanya sebental,"

"Ngapain?"

"Katanya sih gagap."

"Hah? Gagap?"

"Eh salah deng! Gugup maksud Liksa."

Luna lagi lagi tertawa. Ia mohon agar Bintang tidak marah lagi dengannya. Bintang turun dengan wajahnya yang polos.

Bintang duduk lalu menyaksikan televisi yang sudah dari tadi menyala. Luna juga ikut duduk yang tadinya berjauhan, sekarang berada disebelah Bintang.

"Lo marah ya?"

Bintang menggeleng. "Kalo tujuan lo kesini cuma buat nanya hal yang nggak penting meningan pulang aja. Gue masih ada urusan sama Rani."

"Pacar lo yang baru ya?"

"Kalo iya emang kenapa? Masalah? Lo juga udah punya kan? Tolong, jangan pernah ganggu gue lagi. Evan bakal marah, dan gue nggak mau liat lo sakit hati gara gara dia."

Seakan akan mulut Bintang seperti cabe, pedas, menusuk, jahat, dan mungkin berisi dendam. Itu yang dirasakan Luna.

"Gue dateng kesini baik baik Bin, dan lo biarin gitu aja dengan omongan lo yang seenaknya, mungkin lo dan temen temen lo bakal bilang gue pelacur karena gue pacaran sama Evan dan deket sama lo! Tapi asal lo tau, gue cuma pengen minta maaf,"

"Oke kalo itu mau lo, gue harap lo bisa bahagia sama Rani, pacar lo yang baru. Dan doain, biar gue nggak akan sakit hati karena Evan. Tapi karena lo!"

Luna menjauh, lalu mengambil tasnya dan keluar cepat dari rumah Bintang. Bintang mungkin sedang terbawa emosi karena peristiwa yang baru saja ia dengar -Luna berpacaran dengan Evan-

Evan memang teman Bintang, satu geng yang sering berkumpul dimana mana. Tapi didalam pertemanan itu, Bintang dan Evan sama sekali tidak pernah akur, tidak pernah berbicara kecuali sedang tawuran atau berkelahi.

"Bintang? Luna nya udah dikasih minum?" tanya Gatama lalu melihat Bintang hanya sendiri.

"Lho? Luna nya mana?" lanjut Gatama.

"Pulang." balas Bintang jutek.

"Yaudah, lain kali suruh mampir kesini."

"Taun depan."

"Memangnya ada apa kamu sama Luna? Kok jutek gitu?"

"Udah ah,"

Bintang berdiri lalu berjalan menuju kamarnya, sambil membanting pintu dengan rasa kesalnya.

<><><><>

Luna tidak pulang, ia ke cafe tempat pertamanya diajak oleh Bintang. Ia menangis cukup lama, matanya sudah membengkak dan merah, hidungnya memerah dan dada yang sedikit tersedak sedak. Luna memesan kopi putih untuk menghangatkan pikirannya.

Ia harus menyimpan tenaga untuk sore nanti bersama Evan, dan harus menahan rasa sakit hati karena nantinya Bintang akan datang bersama Rani.

"Hhhh." buangan nafas Luna yang cukup keras.

Kembali dan kembali ia mengingat Bintang. Ia harus menghibur hatinya, mungkin dengan membaca buku yang ia beli karya Gatama Effendi akan bisa memudarkan hatinya yang sedang bersedih.

Luna sudah membuka lembaran pertama, ia akan membuka lembaran kedua. Dengan penuh perasaan, ia mencoba membuka perlahan.

'Jangan pernah kau datang hanya untuk membuat hati ini terluka, kau tau? Hati ini sudah terlalu renta dan lunak.'

Sungguh dahsyat bukan? Penulis mana yang tau akan perasaan Luna saat ini. Ini seperti disengaja, kurasa bukan. Setetes tetes, air mata Luna keluar secara perlahan. Ia tetap membuka lembaran berikutnya.

'Aku ingin memberi tahu kau sesuatu, bagaimana bisa aku merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat dan mungkin tidak akan pernah kumiliki?'

Sudah, hati Luna sudah tidak bisa dipaksakan dengan kata kata karya Gatama yang sangat menusuk hatinya. Sungguh, ini adalah buku dengan sejarah pertama yang membuat Luna merasa tersayat.

Luna kira ini sudah siang, waktunya ia pulang dan bersiap siap untuk ke acara ulang tahun nanti. Semoga dengan kehadirannya kembali, membuat acara tidak seperti kemarin.

<><><><>

'Bahkan aku belum sempat mengenalmu lebih jauh, lebih dalam. Tapi? Mengapa saat aku jauh darimu, aku merasa kehilangan? Ini namanya cinta? Kurasa tidak.'

Dear, Bintang✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang