Luna masuk dengan detakkan jantung yang cukup cepat. Ia takut jika Eldo akan melaporkan kepada Bundanya kalau Luna tidak tepat saat jam les.
Luna masuk melangkahkan kakinya, sesaat Luna terkejut melihat seorang pria yang duduk disofa berhadapan dengan Eldo.
Pria itu berdiri mendekati Luna.
"Jangan pernah bikin gue khawatir karena keadaan lo. Gue takut lo kenapa kenapa. Tolong, jaga diri saat gue lagi nggak ada sama lo. Gue balik. Semoga lo mimpi indah, tapi jangan mimpiin Bu Indah. Mimpiin gue aja. Semangat belajarnya." kata pria itu dihadapan Luna.
Siapa lagi kalau bukan Bintang? Eldo meminta nomor Bintang dari Bunda Luna. Maksud Eldo menelefon barangkali Luna ada bersama Bintang. Tapi nyatanya lain, Bintang terlalu khawatir sampai sampai ia menunggu dirumah Luna.
Luna meneguk salivanya. Ia masih tak percaya bahwa Bintang ada dirumahnya sejak tadi bersama Eldo. Dalam hati Luna, pasti Bintang menceritakan sedikit kepada Eldo tentang apa saja.
Bintang melangkahkan kakinya keluar. Disusul Luna yang berlari mencekal tangan Bintang.
"Kak." panggil Luna membuat Bintang berhenti.
Bintang menoleh, lalu mendongak.
"Terimakasih ya udah khawatirin gue. Meskipun gue tau, gue bukan siapa siapa lo."
"Lo akan jadi milik gue. Tunggu aja."
Bintang melepaskan genggaman Luna, lalu menyapu lembut rambut Luna.
"Nantinya gue bakal sayang sama lo. Dan lo sebaliknya. Gue pamit pulang."
Bintang benar benar pergi. Tak hanya Evan yang membuat hati Luna tersentak. Luna belum menjawab pertanyaan Evan, dan tak lain perkataan Bintang akan dijawab juga oleh Evan. Luna tidak tau bagaimana jadinya jika Bintang dan Evan mengetahui bahwa mereka berdua mempunyai rasa yang sama kepada Luna.
Luna berbalik, melihat Eldo tersenyum kepada Luna lalu tertawa.
"Dasar cinta monyet. Sini cepet les." kata Eldo sambil tertawa kecil.
<><><><>
Pagi pagi ini benar benar penentuan, sebelum Luna bangun, Luna mendapat notifikasi dari Evan soal jawabannya tempo hari. Otak Luna harus berfikir keras. Iya? Luna belum siap. Tidak? Luna tidak enak. Tidak jawab? Malah tambah nggak enak.
Luna ingin bantuan dari Manda dan Tara soal Evan. Tapi itu hal yang mustahil. Manda, ia pagi akan berteriak dan mungkin melambekan berita itu di majalah mading. Dan Tara, ia akan membalas dengan rumus matematika dicampur fisika dan kimia dengan sentuhan sejarah dan geografi. Tara memang sangat pintar, mungkin kelewat batas.
Luna pasrah, ia harus berangkat hari ini. Ponsel Luna berdering kembali.
Evan Meganta : Diem dirumah. Saya udah deket.
Mata Luna seakan akan ingin lepas.
Aurora Luna : Mau ngapain?
Pertanyaan bego. Jelas jelas Evan ingin menjemputnya.
Evan Meganta : Mau jemput Luna.
Kepala Luna sudah di banjiri keringat dingin. Entah mengapa Luna sangat malu jika Evan sampai melakukan seperti ini.
Luna sedari tadi mondar mandir di depan halamannya. Pak Tri yang lelah melihat Luna bertingkah seperti itu mendekat kepada Luna.
"Non Luna, ngapain atuh disitu? Ndak sekolah?"
"Sekolah kok Pak. Tapi dijemput temen."
Baru saja Pak Tri ingin menjawab, mobil Evan sudah membunyikan bel pas didepan rumah Luna.
"Temen atau pacar Non?"
"Temen kok Pak. Jangan kasih tau Bunda sama Kakak ya Pak. Luna berangkat."
"Weleh weleh! Ya aku kira Non sama Nak Eldo."
Pak Tri ada ada saja. Baru Eldo sering menjumpai rumah Luna. Pak Tri menyebut Eldo pacarnya.
"Kamu kenapa? Kayaknya salah tingkah gitu? Kok keringat dingin?" tanya Evan sambil berkendara disamping Luna.
"Enggak, tadi dirumah AC nya mati." jawab Luna kikuk.
Evan mengangguk. "Bagaimana jawaban soal kemarin?"
Seketika Luna menjadi tegang. "Yang mana?"
"Kamu mau kan jadi pacar saya?" balas Evan to the point.
Luna terdiam. Sungguh, ini hal pertama kali Luna ditanya soal cinta. Jika Luna menerima, Evan akan menjadi cinta pertamanya.
"Gimana?" tanya lagi Evan.
"Lo udah punya pacar?"
Pertanyaan bego.
"Udah."
"Siapa?"
"Kamu."
"Emangnya gue udah terima?"
Evan menggeleng. "Diterima atau nggak?"
Luna berfikir, cukup lama ia berfikir dan mungkin Evan sudah lumutan menunggu.
"Iya." jawab Luna.
Evan tersentak. "Serius?"
"Iya, serius."
"Sekarang, kamu pacar saya kan?"
"Iya, pacar lo."
"Makasih."
"Makasih kenapa?"
"Sudah mau terima cinta saya."
"Sama sama."
Evan tersenyum sambil mengendarai. Tapi wajah Luna terlihat biasa saja.
"Hari Selasa nanti, kamu datang?"
"Ulang tahun Kak Helmi ya?"
Evan mengangguk. "Datang?"
"Iya."
"Kalau besoknya?"
"Gue nggak tahu."
"Datang aja, sama saya. Selasa nggak usah datang."
"Kenapa?"
"Nanti kamu nggak ada pasangan. Pasangan kamu sekarang saya, Evan."
"I-iya udah." Luna terlalu kaku di waktu ini. Evan juga lebih sering berbicara sekarang daripada kemarin kemarin.
"Nanti disekolah, jangan bandel. Kalo ada apa ap telefon saya." kata Evan yang berhenti di pinggir jalan depan sekolah.
"Gue duluan." kata Luna sedikit jutek. Itu bukan hal yang disengaja, terlintas saja sifat itu keluar dari Luna.
<><><><>
Hallo ghenkes!
Selamat Pasisolam ya,
Dipart lebih dari dua puluh aku nggak bisa selalu aktif upload sehari 2x. Itu nggak bisa.
Dan aku mau kasih tau sesuatu,
FYI AKU MENGGANTI JUDUL CERITA INI :
Nah, kalian pasti kepo kan? Yang nggak yaudah.
Aku bakal share di instagram aku.
BISA DI FOLLOW : @angelialarasatii
Yang mau follback tinggal dm doang.
AKU BAKAL LEBIH SERING AKTIF DISANA DIBANDING DISINI LAGI
Makanya, kalian share.. Follow, dan baca cerita ini.
JANGAN TAKUT UNTUK FOLLOW!Yaudah segitu aja dulu,
Ditunggu vote and commentnya,
Salam,
Angel.
25 Maret 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bintang✔️
Novela JuvenilJangan salah kan ikatan cinta jika kita saling terluka, salahkan takdir yang sudah membuat pertemuan lalu mengundang luka. Aurora Luna Alma : "Kalau saja aku tau semua seperti ini, lebih baik aku tidak akan pernah bertemu denganmu sebelumnya." Adla...