"Aletha bangun sayang," entah sudah keberapa kalinya ibu mencoba membangunkanku, tapi aku masih tetap setia menempel pada bantalku.
"Duh bu, Aletha masih ngantuk."
"Ya Allah Tha, anak gadis kok susah banget dibangunin sih."
"5 menit lagi bu."
"Bangun Aletha, itu di depan Galih udah nungguin kamu."
Ketika mendengar nama Galih disebut, aku langsung bangun terduduk di atas tempat tidur.
"Hah Galih? Kok bisa?"
"Ya bisa lah, udah sana buruan mandi kasian Galih kelamaan nunggunya."
Tanpa pikir panjang aku berlari ke kamar mandi dan bersiap-siap. Tak ingin kekasihku menunggu lama, setelah selesai aku buru-buru turun ke bawah untuk menemuinya.
Saat sampai di bawah terlihat seorang wartawan sedang mewawancarainya, siapa lagi kalau bukan Bang Al. Ya nama Abang tengilku itu Al Jovian Mahendra, keren memang, namanya! Lah orangnya? Jangan ditanya, stres.
"Jadi, lo mau nganterin adek gue?" Dia bertanya dengan raut wajah serius. Ck jangan ketipu, wajahnya itu palsu!
"Iya bang."
"Naik apa?"
"Naik motor."
"Ada bensinnya?"
"Ada bang."
"Yakin, nanti di jalan adek gue ngga disuruh dorong motor lo?"
"Ya ngga lah bang."
"Okeh gue percaya sama lo, jagain adek gue jangan sampe lecet."
Plis jangan pernah sekalipun kalian berpikir bahwa dia mahkluk baik, jangan pernah!!!
"Ngapain Abang tanya begituan, biasanya juga masa bodo?"
"Gue? Masa bodo? Emang! Gue tanya kaya gitu pencitraan doang sih, biar keliatan Abang yang baik gitu."
"Serah lah bang, aku berangkat dulu, Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Ayo Lih," ucapku mengajaknya pergi.
"Nih helmnya," katanya sambil memberikan helm kepadaku.
"Pakein dong."
"Dasar manja."
"Tapi suka kan?"
"Cinta malah."
"Duh, meleleh eneng bang."
"Sini neng, Abang masukin ember lelehannya."
"Kok ember sih?!"
"Lah emang eneng maunya apa?"
"Tau ah sebel, ayo berangkat!"
"Salah lagi kan, nasib-nasib."
"Udah buruan, ngga usah curhat!"
"Iya-iya, pegangan nanti jatoh," ucapnya sembari menuntun tanganku untuk memeluknya.
Kenapa sih Galih harus perlakuin aku kaya gini, kan jadi ngga bisa marah.
Di perjalanan kami saling terdiam, membiarkan suara berisik kendaraan yang berlalu lalang meredam kata yang sedari tadi ingin terucapkan.
Saat sampai di sekolah kami pun masih tetap diam mempertahankan ego kami masing-masing untuk mengucap sebuah kata, sampai akhirnya..
"Sini aku bantuin lepas helmnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...