Ga, sudah satu bulan kamu pergi tanpa mengatakan apapun. Tadinya aku sempat berfikir bahwa sebenarnya semesta baik kepadaku, buktinya dia membawa seorang dewa yang mampu membuatku tersenyum lagi, tapi lagi-lagi aku salah, ternyata bukan itu tujuan semesta membawamu padaku, ternyata semesta hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa dengan mudah membuatku bahagia dan juga mudah untuknya membuatku begitu hancur.
Ga, aku merindukanmu.
Sempat berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri, apakan aku mulai mencintaimu? tapi berkali-kali juga aku menepis pertanyaan tersebut, aku takut Ga, aku takut suatu saat nanti perasaan itu kembali menghancurkanku seperti sebelumnya.
"Tha," aku tersentak kala mendengar seseorang memanggilku.
Aku menoleh ke samping, menatap seseorang yang baru saja memanggilku.
"Jadikan pulang bareng?" tanyanya padaku.
"Jadi, Lih."
"Ya udah ayo," dia menarik tanganku menuju parkiran.
"Ini helmnya," aku memakai helm yang dia berikan dan segera naik ke atas motornya.
Dulu saat kami masih bersama tanpa bertanya terlebih dahulu dia akan dengan senang hati memakaikan helm padaku, tapi kini semuanya tidak sama seperti dulu.
Mungkin yang orang lain lihat hubungan diantara kami mulai membaik, tapi sebenarnya ada sebuah benteng besar yang membatasi kami.
"Lih, nanti berhenti di cafe depan situ ya," kataku sambil menunjuk ke arah cafe tersebut dan Galih hanya mengangguk lalu berhenti ditempat yang aku minta.
"Mau ngapain, Tha?" tanyanya sembari membuka helm.
"Aku mau mampir sebentar, ayo," kataku kemudian berlalu meninggalkannya, dia mengikutiku dari belakang.
"Mas," sapaku pada salah satu pekerja disana.
"Hai, Tha, kaya biasa?" aku hanya mengangguk.
"Tha," aku menoleh kearah Galih yang memanggilku.
"Kamu mau pesan apa?" tanyaku padanya.
"Emm, orange juice ajah deh."
Setelah itu kami mencari tempat duduk dan menunggu pesanan kami.
Sebenarnya setelah hari itu, aku sering datang ke sini hanya untuk sekedar memakan es krim atau saat aku merindukan-nya.
"Ini Mas orange juice-nya dan ini es krim manis untuk nona yang manis," kata Mas Yogi sambil menaruh pesanan kami di atas meja.
"Makasih ya Mas," ucapku sambil tersenyum.
"Oh iya Mas, dia apa kabar?"
"Baik, kemarin dia menghubungiku, dia juga sempat menanyakan kabar gadis kecilnya," aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Tha, kamu beneran ngga mau menghubunginya?" aku hanya menggelengkan kepalaku.
"Aku masih belum sanggup mendengar suaranya."
Ya, aku memang sempat meminta nomor telfonnya pada Mas Yogi, tapi entah mengapa sampai hari ini aku masih tidak berani untuk menghubunginya. Ada banyak kemungkinan yang aku takutkan. Bagaimana kalau dia merasa terganggu? Bagaimana kalau dia tidak senang aku hubungi? Bagaimana kalau dia mengabaikannya? dan yang membuatku lebih takut lagi adalah bagaimana kalau perasaan ini semakin besar ketika mendengar suaranya?
"Tapi kan kamu bisa mengirim pesan kepadanya tanpa harus mendengar suaranya?" ucap Mas Yogi membujukku.
"Sama saja, Mas," jawabku. Aku tau siapapun yang mengenalku pasti tau bahwa aku adalah orang yang keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...