Hari ini aku sangat bahagia, Sabil bilang Galih akan pulang pagi ini, dan aku berniat untuk menjenguknya.
"Idih rapi amat, mau kemana?" tanya abangku.
"Kepo."
"Aish ditanya bener-bener juga."
"Aletha pergi dulu ya Bang, tatah," pamitku sambil melambaikan tangan.
Saat aku keluar rumah ternyata ojek online yang aku pesan sudah menunggu.
"Mba Aletha ya?" tanya tukang ojek itu.
"Iya."
"Ini helmnya Mba," aku mengambil helm tersebut dan memakainya.
Sepanjang jalan bibirku tidak berhenti tersenyum, rasanya kecemasan yang beberapa hari lalu aku rasakan hilang tergantikan dengan kebahagiaan.
Ketika sudah sampai di rumah Galih aku buru-buru membayar ojek dan menuju rumahnya, tidak lama setelah aku menekan bel, Mbok Imah membukakan pintunya.
"Eh Mba Aletha, silahkan masuk Mba," ajaknya.
Kakiku melangkah masuk kedalam rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku.
"Mba Aletha mau ketemu Mas Galih ya?"
"Iya Mbok."
"Tunggu sebentar ya Mba," aku hanya mengangguk mengiyakan.
Aku duduk di ruang tamu selagi menunggu Mbok Imah, kalau diperhatikan rumah ini megah hanya saja terasa sangat sunyi seperti tidak ada penghuninya, mungkin karena memang hanya Galih, Mbok Imah dan Mang joko yang tinggal disini. Yang aku tau Tante Mona jarang ada di rumah.
"Kok Mbok Imah lama banget ya?" gumamku.
Karena khawatir akhirnya aku pergi menuju kamar Galih, dan saat sampai di depan pintu kamarnya aku mendengar perbincangan dua orang.
"Tapi Mas kasian Mba Aletha-nya nungguin di bawah," kata seorang wanita yang aku yakini itu adalah Mbok Imah.
"Bilang ajah kalo aku lagi tidur."
"Kenapa Mas Galih bohong?"
"Udah Mbok bilang ajah kalo aku lagi tidur, aku ngga mau ketemu sama dia!"
"Tapi Mas.."
"Aku bilang ngga ya ngga!"
Saat mendengar perbincangan mereka tanpa aku sadari air mataku menetes begitu saja, hatiku terasa sesak, seluruh tubuhku seperti hancur tak bertenaga.
"Mba Aletha," Mbok Imah terkejut melihat aku berada di depan kamar Galih.
"Mba Aletha denger yang tadi?" tanyanya memastikan.
Aku hanya menangguk sebagai jawabannya, bibirku terasa berat untuk bicara, mungkin jika aku bicara air mataku akan mengalir lebih deras.
"Ya udah kalo gitu saya pamit dulu Mbok," kataku sambil mengusap air mata dan pergi dari sana dengan perasaan kacau.
Apa kalian berpikir bahwa aku marah? tidak aku tidak marah hanya saja kecewa, bukan padanya tapi pada diriku sendiri. Perempuan macam apa aku ini yang membuat kekasihnya begitu marah dan enggan bertemu.
***
Kini aku duduk diam di dalam metromini memikirkan kejadian yang beberapa waktu lalu terjadi. Perasaan yang sebelumnya aku sebut dengan kebahagian itu berubah menjadi kegelisahan.
Karena melamun aku tidak sadar bahwa sejak tadi ada seseorang yang terus memperhatikanku, dia seorang laki-laki yang duduk disampingku. Dan saat aku berbalik melihatnya dia justru hanya diam memandangiku tanpa berbicara sepatah katapun.
"Kenapa sih orang ini liatin aku terus, apa dia kenal sama aku atau aku ada hutang sama dia, tapi kayaknya ngga deh aku ajah ngga tau dia siapa, ah udah lah," ucapku dalam hati.
"Kiri Mang," teriakku ketika sudah sampai.
Saat aku akan turun tiba-tiba laki-laki itu menarik tanganku.
"Jangan sedih, kamu liat awan diatas sana, awan itu mendung karena kamu sedih," ucapnya tidak masuk akal.
Karena merasa takut aku cepat-cepat melepas genggamannya lalu turun dari metromini.
"Itu orang gila kali ya, serem ih."
Okeh mulai sekarang dia masuk kedalam daftar orang-orang yang harus aku jauhi. Eh tapi emang bakal ketemu lagi gitu? Idih jangan sampe amit-amit.
Perasaan takut itu masih ada hingga aku sampai di rumah.
"Kenapa tu muka, jelek amat?" itu bukan pertanyaan tapi ejekan dan kalian tau bukan siapa yang mengatakannya.
"Tadi aku ketemu orang gila, serem banget hiii," ucapku ketakutan.
"Yaelah sama-sama orang gila ajah takut."
"Abang ngomong apa, coba ngomong lagi."
"Orang gila."
"Siapa?"
"Elo lah."
"Yang nanya," kataku lalu berlari ke kamarku.
"Ye orang lo yang nanya kampret!"
***
Pagi ini aku berangkat ke sekolah sendiri, sejak tadi malam Galih tidak membalas pesanku sama sekali. Entah apa yang membuat dia menjadi berubah seperti ini.
Sesampainya di sekolah aku melihat Galih sedang memarkirkan motornya lalu dia berjalan kearahku, jujur saja tadinya aku merasa senang karena dia akan menyapaku, namun hingga melewatikupun dia hanya diam jangankan untuk bicara menatapku saja tidak seolah aku tidak ada disana.
"Galih," panggilku lirih lalu memegang tangannya, dia berhenti tanpa berniat menoleh.
"Kamu udah baikan kan? aku khawatir banget sama kamu," dia hanya diam menutup bibirnya rapat-rapat.
"Kamu kenapa?"
"Udah mau bel, aku ke kelas dulu," setelah mengatakan itu dia pergi meninggalkanku.
Kejadian itu tidak hanya sekali, beberapa hari setelahnyapun dia masih bersikap acuh padaku.
"Udah Tha jangan sedih terus dong," teman-temanku terus menenangkanku, aku tidak tau apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka.
"Apaan sih tuh si Galih kenapa dia kaya gitu coba, rasanya pingin gue tonjok tu orang," ucap Airin kesal.
"Tau emang Aletha salah apaan sampe dia kaya gitu, dasar cowok brengsek."
Tidak, aku tidak bisa diam saja seperti ini aku harus menyelesaikan masalah yang aku sendiri tidak tau apa penyebabnya.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan pergi ke luar kelas untuk menemui seseorang.
"Eh eh Aletha lo mau kemana," di dalam kelas teman-temanku terus memanggilku namun aku terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan mereka, masalah ini harus segera diselesaikan.
Dia tidak ada di kelasnya, namun aku tidak akan menyerah aku harus menemukannya, sampai akhirnya kami berpapasan. Meskipun dia melihatku namun dia membutakan matanya dia terus berjalan melewatiku.
"Lih," panggilku, tapi dia tidak berhenti sama sekali.
"Aku mohon, sekali ajah aku pingin ngomong sama kamu," lalu dia berhenti berbalik menatapku.
"Kamu kenapa, kenapa kamu ngehindar dari aku, kenapa kamu berubah, kalo aku punya salah aku minta maaf tapi jangan diemin aku kaya gini," rasanya hatiku sesak, mataku sudah tidak bisa menyembunyikan air matanya.
Dia terdiam sambil terus memandangiku, sampai akhirnya..
"Gue mau kita putus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...