"Enak ngga, Ge?" tanya Gae sambil menyuapi es krim padaku.
Pagi tadi Gae datang ke rumahku dan mengajakku pergi. Tadinya aku sempat menolak karena...
Kalian tau bukan bagaimana keadaanku sekarang ini?
Aku takut nantinya Gae akan repot jika mengajak ku, aku juga takut Gae akan merasa malu mengajak orang buta sepertiku.
Tapi kalian juga tau kan, bukan Gae namanya kalau tidak bisa memaksaku ikut dengannya.
Dan sekarang ini aku sedang duduk di bangku taman. Bukan, bukan taman belakang rumahku, tapi taman tempat dimana kami berkenalan dulu.
"Enak," jawabku sambil tersenyum.
"Kamu senang?" tanyanya lagi.
Kemudian aku mengangguk sambil memakan es krim.
Setelah itu kami memakan es krim dalam diam.
Aku tidak tau kenapa aku merasa hampa, meskipun Gae selalu disampingku.
Rasanya tidak seperti dulu lagi. Dulu saat aku bertemu dengannya jantungku berdegub sangat kencang, tapi sekarang aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku.
Bahkan beberapa kali Gae ingin bertemu denganku, aku menolak dengan beralasan ingin istirahat. Entah ada apa dengan diriku.
Bertemu dengannya tidak lagi semenyenangkan dulu.
"Ga, ayo kita lupakan kisah ini," kataku sambil menunduk dan meremas jariku.
Beberapa saat kemudian tak ada tanggapan darinya.
"Ah udah sore. Pulang yuk Ge," katanya sambil mendorong kursi rodaku.
Selalu saja seperti itu. Gae akan mengalihkan pembicaraan jika aku membahas tentang ini.
"Ga," panggilku lirih.
"Aku udah bilang kan Ge, kita ngga akan bahas masalah ini lagi."
Sekeras apapun aku mencoba, perasaan yang menyakitkan ini, aku lelah untuk mempertahankannya.
"Kita sama-sama tau Ga, cuma ada rasa sakit dalam kisah kita. Jadi, ayo kita akhiri sebelum kita lebih tersakiti lagi."
Setelah mengatakan itu, Gae berhenti mendorong kursi rodaku. Lalu dia menggenggam tanganku.
"Ngga Ge, aku..."
"Kamu ngga bisa hidup sama orang cacat kaya aku!"
"Bukan aku yang ngga bisa Ge, tapi kamu."
"Iya benar, aku ngga bisa Ga, aku udah capek sama semua ini, AKU CAPEK!"
"Tapi kita masih bisa..."
"Ngga ada yang bisa kita lakukan lagi Ga, semua yang kita lakukan selama ini cuma buat mengulur waktu perpisahan kita ajah, karena pada akhirnya kita akan tetap berpisah!" aku terdiam beberapa saat karena tanpa aku sadari air mataku menetes.
"Mungkin ini adalah cinta yang tak semestinya ada," ucapku lirih.
"Dengerin aku Ge," ucapnya sambil menghapus air mataku.
"Aku tau kamu capek, tapi itu bukan alasan buat kita menyerah sama kisah ini."
"Maaf Ga, aku ngga bisa. Udah cukup selama ini aku bertahan, tapi sekarang aku udah ngga bisa lagi."
"Ge.."
"CUKUP GA! Aku tau kamu juga capek! kamu ngga perlu pura-pura semua baik-baik ajah. Karena nyatanya ngga ada yang baik-baik ajah disini."
"Kamu liat aku? Sekarang aku udah ngga bisa liat lagi, bahkan buat jalanpun aku harus pake kursi roda! Apa yang kamu harapin dari orang cacat kaya aku?! Pergi Ga, karena ngga ada yang perlu dilanjutkan lagi dari kisah ini. Semuanya telah berakhir disini."
"Ngga Ge, aku ngga mau. Kalau alasan kamu karena keadaan kamu sekarang, kamu tau aku terima kamu apa adanya."
"Pergi Ga."
"Ge.."
"PERGI!" teriakku.
Setelah itu aku merasa dia melepas genggaman di tanganku perlahan. Dia pergi.
Untuk kesekian kalianya dia pergi.
Tetesan air hujan mulai turun, semakin lama semakin lebat. Tapi aku hanya duduk di kursi roda menangis dibawah guyuran air hujan.
Bodoh. Kenapa aku menangis! Bukannya ini yang aku inginkan, harusnya aku bahagia bukan menangis!
Flashback.
Beberapa minggu yang lalu saat Bella bertemu denganku, dia bercerita banyak padaku yang akhirnya menyadarkanku akan satu hal.
"Kamu tau, waktu kamu kecelakaan Kak Alen pulang dengan keadaan berantakan. Bahkan semua orang rumah terkejut apa lagi ada bercak darah di bajunya, tapi waktu ditanya Kak Alen cuma diem terus masuk ke dalam kamar."
"Bukan cuma itu ajah, Kak Alen bahkan ngurung diri di kamar berhari-hari, dia ngga mau makan, keluar kamar cuma buat ke rumah sakit jenguk kamu pulang dari rumah sakit langsung masuk kamar lagi. Aku pernah sekali masuk ke kamarnya, seketika aku terkejut melihat keadaan kamarnya yang sangat berantakan, vas bunga, bingkai foto, semua pecah berantakan di lantai. Padahal yang aku tau, Kak Alen ngga pernah kaya gitu sebelumnya."
Setelah mendengar itu aku mulai berfikir, mungkinkah aku orang yang tepat untuknya? Aku takut bila nantinya akan menghancurkan hidup laki-laki yang aku cintai.
"Aletha!" aku mendengar seseorang berteriak memanggilku, tapi aku hanya diam menundukkan kepala.
"Tha," sampai orang itu memegang pundakku, aku mengangkat wajahku.
"Za," seketika tangisku pecah mengetahui Reza di hadapanku.
"Kamu kenapa Tha?"
"Dia pergi lagi, dan itu semua karena keegoisan aku," setelah itu Reza memelukku erat dan aku menangis di pelukannya.
Cukup lama aku menangis dalam pelukannya.
"Jika diizinkan Za, aku mau kamu saja yang menjadi bagian dari kisahku ini," ucapku sambil menatap matanya.
"Bagaimana mungkin Tha, dia itu terlalu menakjubkan untuk aku gantikan dalam kisahmu."
"Kamu benar, dia terlalu menakjubkan hingga semesta pun tak mengizinkan aku untuk menjadi bagian hidupnya."
"Takdir macam apa ini Aletha, yang selalu membuatmu terluka?" katanya sambil memeluk tubuhku kembali.
"Aku sendiri juga tidak tau takdir apa yang sedang aku jalani, yang aku tau dunia ini terlalu benci kepadaku."
***
Hay, apa kabar?
Jangan lupa vote, comment, share and follow.
Salam Babai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...