Bab 20 (#masalalu13)

105 7 2
                                    

"Kak Alen," panggil seorang perempuan kepada Gae. Aku melihat Gae berdiri dari duduknya setelah mendengar panggilan perempuan tersebut.

"Udah?" tanya Gae pada perempuan itu.

"Udah, pulang yuk, takut Bunda nyariin," kata perempuan itu sambil menggandeng tangan Gae.

"Ya udah ayo, Ge kamu mau ikut atau.."

"Ngga, aku masih ada urusan,"

"Ya udah, aku duluan ya Ge."

Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Apa kalian percaya pada ucapanku barusan? tidak jangan percaya pada kata-kataku itu, aku berbohong, aku tidak ada urusan lain, alasan sebenarnya karena aku tidak ingin melihat lebih lama kedekatan mereka.

Astaga, apa aku cemburu?

Bukan ini pasti bukan cemburu, tolong kalian katakan padaku bahwa ini bukan perasaan cemburu. Ini pasti hanya karena aku akan kehilangan teman baikku yang peduli padaku, ya pasti begitu.

Ya Tuhan perasaan bodoh macam apa yang aku rasakan ini!!

Lagi dan lagi air mata itu kembali turun melalui pipiku lalu jatuh ke bumi menyatu dengan air hujan.

***

Tiga hari sudah setelah kejadian itu, dan aku belum lagi bertemu dengan Gae. Selama ini kenyataan selalu membuatku kecewa sampai rasanya aku ingin hidup di dunia mimpi saja agar aku bisa selalu menjalani hariku dengan indah, tidak seperti sekarang ini, yang aku rasakan justru hanya kehampaan.

Tanpa diminta kejadian di taman beberapa hari lalu terlintas kembali, ketika Gae pulang menggandeng perempuan lain. Jika diperhatikan perempuan itu begitu cantik, bahkan aku sangat jauh dibandingkan dengannya, jadi mana mungkin Gae tertarik padaku.

Sepulang sekolah aku selalu menunggu metromini di halte dekat sekolah. Ketika sedang menunggu tiba-tiba ponselku bergetar, aku mengkerutkan dahi ketika melihat panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

"Halo," ucapku mengangkat panggilan tersebut.

"Aletha, ini Tante Mona, mamahnya Galih," aku semakin bingung, kenapa Tante Mona menghubungiku.

"Oh iya tante, ada apa?"

"Aletha, kamu liat Galih ngga?"

"Galih? Aletha ngga liat Galih tan, emang Galih kenapa?"

"Dari kemarin Galih ngga pulang ke rumah, tante khawatir terjadi sesuatu sama Galih," terdengar suara isakan dari seberang sana, dan aku yakin bahwa sekarang ini Tante Mona sedang menangis.

"Tante tenang dulu ya, Aletha pasti bantu cari Galih."

"Iya Tha, makasih ya."

"Iya sama-sama tan," setelah panggilan terputus aku langsung menghubungi Galih, tapi nomornya tidak aktif, lalu aku mencoba menghubungi Bimo.

"Halo Bim."

"Iya halo Tha, kenapa?"

"Kamu sekarang bareng sama Galih ngga?"

"Ngga, sekarang gue lagi di Bandung, emang kenapa?"

"Tante Mona tadi telfon aku katanya dari kemarin Galih ngga pulang, kamu tau ngga kira-kira dia dimana?"

"Coba deh lo ke Club siapa tau dia disana."

***

Setelah Bimo memberiku alamat club tersebut, tanpa pikir panjang aku langsung menuju tempat itu.

Tidak lama setelahnya aku sampai, ini adalah kali pertama aku memasuki tempat haram seperti ini, dan jika bukan karena Tante Mona aku tidak akan pernah mau memasukinya.

Di dalam sini hanya suara dentuman keras yang aku dengar dan orang-orang yang tengah menari-nari, sungguh aku membenci tempat yang berbau alkohol ini.

Aku berkeliling mencari keberadaan Galih, sampai akhirnya aku menemukannya, dia sedang duduk sambil meletakkan kepalanya di atas meja, sepertinya Galih sudah mabuk berat.

Aku mendekatinya lalu mencoba menyadarkannya, namun sia-sia. dan terpaksa aku harus menyeretnya keluar.

"Lepasin gue," katanya masih dalam keadaan mabuk.

"Gue bilang lepas!" bentaknya.

Plak

Aku menamparnya, entah kenapa melihatnya seperti ini membuatku kecewa dan emosi.

"Kalau kamu butuh pelampiasan bukan kaya gini caranya!" aku menatapnya dengan masih tersulut emosi, dia hanya diam mendengar kata-kataku.

"Pulang Lih, mamah kamu nyariin, dia khawatir sama kamu," ucapanku melemah sembari memegang lengannya.

"Mamah? gue ngga punya mamah Tha,"

"Lih gimana pun juga dia mamah kamu."

"Dia bukan mamah gue! kalau dia anggap gue sebagai anaknya seharusnya dia ngga pernah buang gue seolah gue ini SAMPAH!"

"Dia itu iblis Aletha!!"

Aku hanya bisa diam membisu mendengarkan setiap kalimat menyakitkan yang dia ucapkan.

"Andai gue diizinkan Tha, gue bakal minta sama Tuhan supaya gue ngga pernah dilahirkan di dunia ini," kini suaranya menjadi lemah, air matanya sudah mengalir deras.

Aku mendekapnya kedalam pelukanku, membiarkan dia mengeluarkan kesedihan dan air mata yang selama ini dia sembunyikan dibalik senyumnya itu.

Kini aku tau, ternyata lebih banyak luka di hatinya dibandingkan luka di wajahnya.

"Kalau kamu mau, kamu bisa cerita sama aku Lih."

"Apa dengan gue cerita sama lo, rasa sakit di hati gue bisa sembuh?"

Aku hanya diam, karena aku tidak bisa menjanjikan apa yang dia tanyakan itu.

"Ngga kan Tha? meskipun gue cerita ke seribu orang sekalipun rasa sakit di hati gue ngga bakal bisa sembuh, karena hati gue udah terlanjur hancur menjadi berkeping-keping."

Setelah sekian lama, baru kali ini aku melihatnya begitu lemah dan terpuruk.

Tuhan semenyakitkan itukah kisahnya?

Bagaimana mungkin laki-laki yang selama ini selalu tersenyum, selalu terlihat bahagia ternyata dia begitu banyak memendam luka.

Aku terus memeluknya erat sambil sesekali menghapus air matanya. Air mata yang selama ini tidak pernah aku lihat, sekarang air mata itu keluar terlalu banyak, sampai rasanya aku ingin menutup matanya, menyuruhnya untuk tidur, dan berharap dia akan melupakan kesedihannya ketika dia bangun.

***

Jangan lupa ya vote, comment, share, and follow.

Salam baibai.

Rindu & Pilu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang