Satu minggu sudah aku tidak bertemu lagi dengan Gae dan kemarin aku pergi ke taman, berharap akan bertemu dengannya tapi ternyata tidak. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk ke cafe tempat dimana Gae mengajakku beberapa minggu yang lalu.
"Loh Mba yang waktu itu ke sini bareng sama Galen kan?" tanya salah satu pegawai cafe tersebut.
"Iya Mas."
"Oh iya Mas, Gae ada kesini ngga?" tanyaku pada laki-laki itu, kalau ngga salah Gae bilang namanya Mas Yogi.
"Maksudnya Galen? dua hari yang lalu dia kesini pamitan sama saya."
"Pa..pamit? emang Gae mau kemana?"
"Emang kamu ngga tau, Galen kan mau kuliah di luar negeri."
"Kalo itu saya tau, tapi Gae ngga bilang kalo dia bakal pergi dua hari yang lalu," kataku sambil menunduk lemas.
"Dia ngga pamitan sama kamu?" tanya Mas Yogi terkejut.
Aku hanya mampu menggelengkan kepala karena lidahku terasa kelu udah bicara.
Bagaimana mungkin dia pergi tanpa mengatakan apapun terlebih dahulu padaku.
"Ya udah Mas, kalo gitu saya pulang dulu."
"Loh Mba ngga mau pesan dulu?"
"Ngga deh Mas, lain kali ajah," jawabku sambil berbalik untuk keluar dari cafe, tapi tiba-tiba seseorang menahan tanganku.
"Gimana kalau saya traktir es krim?" ternyata Mas Yogi yang menahan tanganku.
"Eh ngga usah Mas, saya mau pulang ajah."
Mas Yogi hanya diam menatapku sambil tersenyum.
"Saya mohon Mba, biarkan saya menepati janji saya." katanya masih dengan menatapku.
"Janji?"
"Sebelum Galen pergi, dia berpesan pada saya, katanya kalau gadis kecilnya kesini, saya harus melayaninya dengan baik, saya harus memenuhi semua keinginannya, kalau tidak, Galen akan balik lagi ke sini buat menghajar saya. Jadi saya mohon Mba jangan buat muka saya babak belur karenanya," aku dapat melihat wajah ketakutan dan kekhawatiran dari Mas Yogi dan itu membuatku tersenyum geli.
Tuhan kenapa dia membuatku sedih dan senang secara bersamaan?
Karena permohonan Mas Yogi, akhirnya aku menyetujui singgah sebentar untuk memakan es krim.
"Es krim manis untuk nona yang manis, " ucapnya lalu menaruh es krim vanila kesukaanku di meja.
"Terimakasih," jawabku sambil tersenyum.
Aku hanya memandangi es krim tersebut tanpa berniat untuk memakannya.
Kamu bohong Ga, kamu bilang kamu bakal temenin aku makan es krim, tapi buktinya sekarang aku sendiri.
"Loh kok es krimnya belum dimakan?" aku terkejut mendengar Mas Yogi bertanya padaku.
"Eh iya Mas, ini baru mau dimakan," jawabku lalu memakan es krim tersebut.
Selesai makan es krim aku berpamitan pada Mas Yogi. Tadinya aku ingin membayar es krim yang aku makan tadi, tapi Mas Yogi menolak, katanya sudah dibayar sama Gae, aku yang tidak tau apa-apa hanya menuruti perkataannya.
Setelah keluar dari cafe aku berjalan entah akan kemana, sudah kuputuskan bahwa hari ini aku akan mengikuti kemanapun kakiku melangkah karena otakku sudah sangat lelah untuk berfikir akan pergi kemana.
Tanpa aku sadari ternyata sepanjang jalan mataku mengeluarkan butiran bening, dan disaat bersama tetesan air hujanpun jatuh ke bumi.
Aku terus menangis dibawah guyuran air hujan.
Lalu aku kembali mengingat saat-saat Gae masih disampingku.
Dia berbaring diatas padang rumput sambil memejamkan matanya.
"Ga," panggilku.
"Hmm."
"Kenapa ya banyak orang yang suka sama hujan?" tanyaku pada laki-laki yang masih memejamkan matanya itu.
"Setiap orang punya alasan yang berbeda, Ge," jawabnya.
Sepertinya laki-laki tersebut tidak ada niat untuk membuka matanya, mungkin dia takut kupu-kupu yang melewatinya akan jatuh cinta ketika melihat bola matanya itu.
"Kalau kamu suka hujan ngga?"
"Ngga."
"Kenapa?" aku menoleh ke samping menatapnya.
"Aku suka hujan karena saat hujan turun ngga akan ada yang tau bahwa aku sedang menangis." kataku sambil melihat langit yang mulai mendung.
"Itulah kenapa aku ngga suka hujan, karena saat hujan turun itu berarti gadis kecilku sedang menangis, dan aku benci saat melihat mata indahnya itu mengeluarkan air mata."
Kamu ingat kata-katamu itu Ga, kamu bilang kamu benci saat hujan turun karena sebab dari hujan itu adalah air mataku, tapi sekarang kamulah alasan kenapa hujan itu turun!
"Aletha!" aku mendengar seseorang memanggilku entah siapa, akupun tak peduli.
Tiba-tiba orang itu berlari mendekatiku lalu memegang pundakku, saat aku menatapnya ternyata dia Galih.
"Lo ngapain disini kenapa hujan-hujanan?" tanyanya padaku.
"Dia pergi Lih, dia pergi ninggalin aku, dia bahkan ngga pamitan sama aku!"
"Dia ngga mungkin ninggalin lo Tha," kemudia Galih memelukku mencoba menenangkanku.
"Semesta jahat Lih, dia jahat sama aku, dia selalu ngambil orang-orang yang aku sayang, dia ngga mau liat aku bahagia!" aku menangis didalam dekapannya.
"Sssttt," Galih mempererat pelukannya seolah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Semesta jahat, aku benci sama dia!" racauku.
Sungguh aku tidak tau bagaimana kabar tubuhku saat ini mengingat bahwa hatiku sekarang tidak bisa dibilang baik-baik saja, bahkan mungkin jauh dari kata baik.
"Udah Tha jangan nangis, kalau lo nangis kaya gini itu buat gue merasa lebih bersalah karena ngga bisa jagain lo," Galih mengusap rambutku lembut.
"Gue mohon Tha jangan nangis lagi karena sekarang gue ngga bisa selalu ada disamping lo untuk menghapus air mata lo."
Sekarang kau senang bukan Semesta, akhirnya keinginanmu tercapai, rencanamu telah berhasil, kini aku sudah hancur sama seperti impianmu, selamat kali ini kau yang menang dan aku kalah!!
***
Lorong rumah sakit semakin sepi, saat aku melihat jam tanganku ternyata sudah jam sebelas lewat dua puluh menit, pantas saja aku sudah tidak melihat ada orang yang berlalu lalang disini, hanya tinggal aku dan Bi Ani yang masih duduk dibangku rumah sakit.
"Neng Dokter," panggil Bi Ani.
Aku menoleh menghadap dia.
"Neng Dokter nangis?" dia terkejut melihatku menangis.
"Eh," sebenarnya aku juga terkejut menyadari bahwa sedari tadi aku meneteskan air mata saat tengah menceritakan tentang kisah tragisku padanya.
Aku buru-buru menghapus air mataku.
"Saya tau pasti berat menceritakan kembali kisah yang begitu menyakitkan, kalau Neng Dokter ngga kuat lebih baik sudah cukup ceritanya."
"Tidak, ceritanya belum selesai sampai disini, Bi Ani harus tau bagaimana takdir menghancurkanku."
"Baiklah," dia tersenyum sambil menggenggam kedua tanganku.
Sungguh sampai saat ini aku masih tidak mengerti, wanita ini sebenarnya diciptakan dari apa, mengapa hatinya begitu lembut, mengapa dia bisa begitu tegar menjalani kisah kejam yang semesta berikan.
***
Jangan lupa ya vote, comment, share and follow.
Salam babai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...