Bab 36

89 3 0
                                    

"Tuhan, ternyata namanya Gea Aletha." Kata-katanya kembali terngiang dalam benakku sampai tanpa sadar sebuah senyuman terbit di bibirku.

"Maaf Ge, karena selama sepuluh tahun ini aku meninggalkanmu tanpa kabar," mendengar itu senyuman dibibirku kembali menghilang.

"Sebenarnya sebelum aku pergi aku sudah mencarimu kemana-mana, tapi aku tidak menemukanmu sampai..." dia menggantung ucapannya sehingga membuatku penasaran.

"Sampai aku melihatmu berpelukan dengan seorang laki-laki di taman rumah sakit," suara itu, suara yang begitu memilukan itu membuat hatiku seperti tersayat.

"Astaga, kamu salah paham Ga, aku ngga ada apa-apa sama Galih, kita udah selesai," sungguh aku merasa bersalah akan kesalah pahaman itu.

Apa kalian masih ingat kejadian saat tiba-tiba Galih memeluku di taman rumah sakit?

Bodohnya aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang terluka saat melihat kejadian itu.

"Maaf karena dengan bodohnya aku kecewa, seharusnya aku tidak merasa seperti itu, seharusnya aku pergi dengan mengucap sampai jumpa padamu, tapi yang aku lakukan justru pergi tanpa mengatakan apapun padamu, maafkan aku Ge."

***

"Hai, Adik Abang yang jelek," kali ini aku tau siapa pemilik suara itu.

"Ah, lo mah ngga seru Tha, masa cuma ketabrak doang lo sampe ngga sadar kaya gini," gerutunya.

Di kegelapan ini aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.

"Padahal dulu lo jatuh dari sepeda ajah cuma nangis, ngga sampai kaya gini, iya kan Ken?"

Ternyata abang tidak sendiri, dia ditemani oleh anaknya, Ken.

"Iya, Tante Ale ngga asik ah, Ken ajah jatuh dali pohon ngga nangis," ujar Ken menanggapi ucapan ayahnya.

"Iya kamu ngga nangis, tapi mewek," timpal abang.

"Ih Papa, jangan buka lahasia Ken dong, nanti kalo Tante Ale dengel Ken bakal diledekin."

"Rahasia Ken, bukan lahasia," tegur abang. Dia memang begitu, sama anaknya ajah suka nyebelin apa lagi sama orang lain.

"Iya Papa, lahasia," bela Ken.

"R Ken, bukan L."

Aku semakin dibuat geli oleh obrolan ayah dan anak itu. Ternyata benar pohon jatuh tidak jauh dari buahnya.

"L L L, ih Ken ngga bisa ngomong L Papa," pungkasnya, mau seberapa keraspun mencoba Ken memang tidak bisa mengucap huruf R. Dasar abangku saja yang tidak waras.

"Masa cowok ngga bisa ngomong R sih, ngga keren dong."

"Ken kelen Papa, Mama Papa nakal!" teriak Ken, dan sepertinya dia pergi untuk mengadu pada mamanya.

Disisi lain abangku hanya tertawa melihat kelakuan anaknya itu dan membuatku mau tidak mau ikut tertawa.

"Lo kapan bangunnya sih Tha," aku berhenti tertawa ketika abang kembali berbicara padaku.

"Ngga usah sosoan jadi putri tidur deh lo, ngga pantes."

Mau bagaimanapun juga, yang namanya bang Al tetap akan membuatku merasa kesal.

"Gue seriuh nih Tha, lo jangan lama-lama tidurnya kan gue jadi kangen."

"Apa lo ngga mau bangun gara-gara sering gue jailin? Ya udah deh gue ngga bakal jail lagi, gue bakal turutin kemauan lo, tapi lo bangun ya Tha, temenin gue main catur lagi."

"Maafin gue yang belum bisa jadi Abang yang baik buat lo, tapi asal lo tau gue itu sayang banget sama lo," entah mengapa suaranya tiba-tiba terdengar penuh penyesalan.

Rindu & Pilu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang