"Sabil," aku terkejut melihat seseorang dihadapanku.
Entah apa yang terjadi, Sabil langsung memelukku erat dan aku hanya mematung dalam keadaan itu.
"Kenapa lo harus mendem luka lo sendiri, kenapa lo ngga pernah cerita, lo punya gue, punya kita temen-temen lo yang pasti bakal dengerin keluh kesah lo."
"Aku cuma ngga mau buat kalian jadi susah dan ikut terseret dalam masalahku."
Tiba-tiba hatiku terasa semakin sesak ketika mendengar dia, sahabatku terisak dalam pelukku.
"Gue tau, sahabat itu bukan dia yang selalu ada buat lo dalam keadaan apapun, tapi sahabat itu yang bisa mengerti perasaan sahabatnya, itu kenapa gue bilang sama lo, jangan buat hati lo sakit sendiri karena hati lo itu juga butuh temen."
Tuhan, maafkan aku telah membuat sahabatku menangis.
"Maaf," yang aku lakukan selanjutnya adalah memeluknya erat.
Setelah kejadian itu aku menceritakan tentang Gae kepada sahabat-sahabatku, tidak semua aku ceritakan, aku hanya bercerita bahwa Gae adalah laki-laki aneh yang berbicara denganku di metromini, laki-laki yang menggosok tanganku saat hujan, laki-laki yang menjadi alasan setiap hujan dan pelangi datang.
Dia adalah Gae, alasan kenapa cerita ini dibuat.
***
Aku sedang berjalan di koridor sekolah menuju gerbang karena memang sudah waktunya para siswa pulang.
"Aletha," seru seseorang di ujung koridor sana.
Secara reflek aku menghentikan langkahku dan melihat Alisya berlari kearah ku.
"Kenapa, Lis?" tanyaku.
"Bentar-bentar gue nafas dulu, kayanya gue butuh tabung oksigen nih," celoteh sambal mengibas-ngibaskan tangannya.
"Lo harus denger berita menghebohkan ini."
"Berita apaan?"
"Galih udah sadar," ucapnya heboh, seheboh berita yang katanya menghebohkan.
"Seriusan?"
"Lima ratus rius malah, banyak kan?"
"Kalo gitu ayo kita kesana," kataku dengan antusias.
***
Sekarang ini kami, maksudku, aku, Andara, Sabil dan Alisya sedang berada di ruangan tempat Galih dirawat.
Galih sudah dibawa ke ruang inap, tidak lagi di ICU.
"Gue rasa ada yang mau kalian bicarain, kalo gitu kita tinggal dulu," kata Andara.
Kini tinggal aku dan Galih di ruangan ini.
"Maaf," ucapku lirih, bahkan tanpa sadar aku meneteskan air mata.
"Kenapa akhir-akhir ini lo cengeng banget sih?" katanya sambil mengusap air mataku.
"Kamu.."
"Lo ngga berfikir gue ngga tau kalo setiap hari lo nangis sambil megang tangan gue, kan?"
"Ta..tapi gimana mungkin..." gugup, itu yang aku rasakan saat ini.
Tuhan, bagaimana dia bisa tahu?
"Gue juga tau semua yang lo bilang."
Aku membutalkan mata lebih terkejut dengan ucapannya.
Oh Tuhan.
"Liat gue, Tha," katanya sambil memegang pundakku.
Aku mengangkat kepalaku kembali menatapnya.
"Yang sekarang terjadi sama gue, itu semua bukan salah lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu & Pilu (End)
Teen FictionIni kisah tentang sepasang hati yang terus berjuang meskipun derita selalu menghalang. Ini kisah tentang dua hati yang tak bisa bersatu dan berakhir dengan pilu. Cerita cinta yang kita kira akan berujung sempurna, kini hanya luka dan kecewa yang ter...