Dua puluh dua

6.9K 233 6
                                    

Hari ini Fanya akan bertanya pada Dion tentang hubungannya, ia tidak mengerti dengan sikapnya yang sengaja atau tidak jalan bersama Salsa di depan matanya.

"Aku mau tanya sama kamu, penting." Ucap Fanya.

"Kapan? Sekarang aku ga bisa, pulang ini ada urusan."

"Urusan sama Salsa kan?"

"Kamu apaan sih fan?"

"Salsa siapa kamu? Gebetan? Pacar atau apa?"

"Hanya teman!" Dion kesal terhadap Fanya karena ia terus saja mendesaknya.

"Yakin cuma teman?"

"Iya fan, cuma teman."

"Aku dengar ko yang kemarin kamu bilang ke Ihsan."

"Fan.. itu semua ga kaya yang kamu kira."

Dion tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meyakinkan Fanya agar rahasianya tidak di ketahui olehnya.

"Kamu tega ya bohongin aku, lalu kamu pacaran sama aku cuma pelampiasan kan?"

"Pelampiasan apa sih? Aku ga faham."

"Jangan pura-pura amnesia. Aku tau semuanya, dan apa tujuan kamu jalanin hubungan ini sama aku kalau hati kamu untuk orang lain? Jawab Dion!"

Dion hanya diam mendengarkan ucapan Fanya, ia sudah menduga bahwa semua rahasianya akan terbongkar dan entah bagaimana hubungannya sekarang dengan Fanya.

Fanya berlari keluar kelas dengan air mata yang menetes di pipinya, namun dia menabrak tubuh tinggi Devan yang sedang membawa beberapa buku dari perpustakaan.

Brukkk.

"Maaf gue ga sengaja, buku lo jadi jatuh." Fanya membantu membereskan buku Devan yang terjatuh di lantai.

"Gapapa, kenapa nangis gitu?" Tanya Devan.

"Eh.. gue.. ga nangis ko." Fanya mengusap air mata yang ada di pipinya​.

"Jangan bohong, air mata lo dari tadi jatuh aja ke pipi."

"Gue duluan Van, untuk yang tadi gue minta maaf."

Devan memikirkan Fanya yang di lihatnya tadi menangis entah karena hal apa, ia tidak mengetahuinya.

***

Kalau kamu jadikan aku hanya pelampiasan, lebih baik dari awal aku tidak mengenal mu.

Fanya pergi ke gudang sekolah dimana tempat tersebut sangat sepi, tujuannya ingin menenangkan diri dan tidak ingin di ganggu oleh siapapun.

Saat ia berjalan menuju gudang sekolah, Dion mengikutinya dari belakang dan tidak ingin Fanya terluka sedikit pun.

"Gue pengen teriak, gue benci hal ini. Kenapa Dion sampai tega khianati gue?" Teriak Fanya sambil menangis.

"Teriak aja, supaya lo puas." Terdengar suara Devan yang membuat Fanya terkejut.

"Eh.. lo?" Fanya terburu-buru menghapus air matanya.

"Nangis aja kali gapapa, ga perlu​ sembunyi-sembunyi kaya gitu."

"Tujuan gue ke sini mau tenangin diri gue dari orang lain. Kenapa lo disini?"

"Gue tau, lo nangis karena ada hal yang buat lo sakit hati."

"Ga juga Dev."

"Lo mau pura-pura bohong? Udah 1 tahun gue kenal sama lo ga mungkin gue lupa begitu aja, apalagi masalah yang menyangkut tentang lo."

Devan mendekat ke arah Fanya, ia menatap matanya dalam seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

"Jangan sedih lagi ya, gue ga mau liat lo sedih." Tangan Devan ingin mengusap air mata di pipinya namun niatnya tidak jadi.

"Terima kasih Devan."

"Andai gue masih ada kesempatan untuk peluk lo lagi." Batin Devan.

"Udah bunyi bel, lebih baik ke kelas. Gue duluan ya, Fan."

Sekarang di kelas 11 ips 2 pelajaran sejarah, Devan tidak bisa fokus dengan materi yang di berikan oleh pak Anto.

"Yang di belakang, kenapa diam saja?"

Dika memegang tangan Devan menyadarkannya dari lamunan tentang Fanya yang ada di pikirannya.

"Devan Mahendra kenapa kamu tidak memperhatikan saya?" Pak Anto marah padanya karena Devan tidak bisa fokus terhadap pelajarannya.

"Anu pak.."

"Anu apa Devan?!"

Devan hanya diam saat pak Anto marah padanya, ia hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Kalau kamu tidak fokus boleh keluar di pelajaran saya."

"Saya pasti fokus pak, saya minta maaf."

Devan mencoba tetap fokus dalam pelajaran sejarah ini, ia harus sadar bahwa dirinya sekarang bukan lah seseorang yang spesial di hati Fanya.

Bel pulang berbunyi, tanda anak-anak keluar dari kelasnya masing-masing. Teman-teman Devan heran dengan sikapnya yang lebih banyak diam di kelas.

"Dev, lo kenapa sih ko diem aja?"

"Iya ini anak malah tadi ga fokus lagi sama pelajarannya pak Anto."

"Lo Mikirin tentang Fanya?"

Devan mengangguk, tanda ia memberi jawaban untuk kata iya.

"Yang bener aja lo masih mikirin dia?

"Kalian putus udah 5 bulan yang lalu, masih aja belum move on."

"Gue mau balik lagi sama dia."

"Hah? Lo ga lagi sakit kan Dev?" Teman-temannya melihat ke arah Devan dengan tatapan heran.

"Kan kata gue juga apa, Devan belum bisa move on dari Fanya Alvira."

Semenjak putus dengan Fanya, ia selalu memperhatikannya walaupun dari jauh itu sudah cukup baginya memastikan bahwa Fanya aman.

Kalau masih sayang jangan di jadikan mantan, kalau udah jadi mantan jangan di sayang-sayang lagi.

Merelakan sesuatu memang tidak mudah, tetapi harus berusaha lebih sabar jika melihatnya dengan pilihan yang lain.

Posesif Boyfriend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang