Empat puluh dua

5.6K 156 0
                                    

Orangtua Fanya, Ihsan, Tiara, teman-teman Devan yang lain sudah berkumpul dirumahnya. Devan memberitahukan strategi yang sudah dibuatnya, kemarin malam.

"Devan, kapan kita akan berangkat?" Tanya Ayahnya Fanya.

"Jam 18.00 kita akan berangkat, Om."

Mereka tidak memanggil polisi karena tidak ingin masalah ini menjadi sangat rumit dan berhubungan dengan jalur hukum. herman, ayahnya Fanya, sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putrinya. Hampir lima hari, ia tak pulang kerumah.

Sedangkan dirumah Dion, hampir setiap hari Fanya berteriak meminta tolong sambil menangis tapi hasilnya nihil. Dion yang sudah pusing mendengar teriakannya, ia datang menghampirinya dan marah padanya.

"Lo ga bisa diem banget sih!"

"Gue mau pulang, Yon..."

"Lo mau pulang tapi ga mau balikan sama gue!"

"Sampai kapanpun gue ga akan mau balikan sama lo!"

"Terserah lo ya, kalau mau pulang ya itu syaratnya. Jangan buat kepala gue tambah pusing!"

Saat dirinya sedang berbicara serius dengan Fanya, ponselnya berdering. Ia melihat ponselnya, ternyata Ihsan yang menelpon.

"Halo Bro, ada apa?"

"Gue mau main kerumah lo dong."

"Dadakan banget?"

"Gue ga betah dirumah terus. Boleh dong ya?"

"Lo dateng aja, gue ada dirumah ini."

Dion segera menutup telponnya, karena Fanya kembali berteriak meminta tolong. Ia takut suara Fanya terdengar oleh Ihsan.

18.00 WIB
Mereka semua masuk kedalam mobil ayahnya Fanya, untuk pergi kerumah Dion. Sementara Ihsan sudah berangkat terlebih dahulu, ia akan mengalihkan pandangan Dion disaat mereka masuk kerumahnya.

Ibu Fanya tak henti-hentinya melihat foto anaknya dari ponsel. Cinta seorang ibu sangat kuat lebih dari apapun. Saat tahu putrinya diculik, ia langsung kembali kerumahnya dan meninggalkan setumpukan pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan tentang bisnisnya.

"Sabar ya, anak kita pasti akan pulang." Ucap Ayahnya Fanya sambil memeluknya.

Devan melajukan mobil milik ayahnya Fanya menuju rumah Dion. Hanya butuh waktu 30 menit, mereka sampai dirumahnya dan langsung menghubungi Ihsan yang sudah berada didalam rumah tersebut.

"Kenapa kita ga parkir didepan gerbang rumahnya, Dev?"

"Jangan, Tante. Takut kita diusir sama satpamnya."

Ponsel Dika berdering, pesan whatsapp masuk dari Ihsan.
Ihsan: Lo pada dimana?

Dika: Kita semua udah didepan gerbang, San. Dion udah keruang perpustakaan belum?

Ihsan: Udah, makanya gue hubungi lo. Buruan masuk.

Dika langsung memberitahu semuanya dan mereka mengendap-endap masuk kedalam rumah Dion melalui pintu samping yang tidak terjaga oleh satpam.

Ihsan yang melambaikan tangan, lalu mereka semua dengan sangat hati-hati mengikuti langkah kaki Ihsan menuju ruang perpustakaan.

Dion yang sedang memarahi Fanya, kini tertangkap basah. Ia terkejut melihat keberadaan orang-orang terdekat Fanya datang, sampai menjatuhkan piring yang berada ditangannya.

"Oh jadi selama ini lo yang culik Fanya!" Kepalan tangan Devan mendarat di muka Dion.

"Ternyata lo busuk banget!" Bagus yang memegangi tangan Dion dan Dika menariknya hingga terjatuh.

Dika, Fauzan, dan Bagus ikut memanas setelah mengetahui penculik dari temannya ini. Emosi mereka tak terkontrol, terutama Devan.

"Om, lepaskan Fanya saja. Urusan Dion akan menjadi urusan kita." Ucap Fauzan.

Ayah Fanya, melihat Devan dengan teman-temannya sedang mengeroyoki Dion.
"Stop! Jangan dipukuli lagi!"

"Tapi dia sudah salah besar, om." Jawab Dika.

"Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan lagi."

Fanya kembali mengeluarkan air mata, namun bukanlah air mata kesedihan lagi tapi air mata bahagia. Akhirnya ia bisa terlepas dari tali-tali yang mengikat tubuhnya. Ia memeluk kedua orangtuanya dengan memperlihatkan senyuman indahnya.

"Bu..."

"Jangan nangis lagi ya." Ibunya mengusap air mata Fanya.

"Tiara..."

"Fanya... Akhirnya gue ketemu lo lagi!" Tiara memeluk Fanya dengan erat dan mengeluarkan air mata juga.

"Jangan sedih dong, gue sekarang bebas!"

"Ini semua karena Devan, Fan."

Dika, Bagus, dan Fauzan sedang mengikat Dion dengan tali. Dan Devan menghampiri Fanya dengan ragu-ragu. Matanya juga ikut berkaca-kaca melihat Fanya.

"Sebelumnya gue berterimakasih banget sama lo, Devan." Fanya tersenyum.

"Iya... Sama-sama."

"Cowok ko nangis sih?" Fanya mengusap air mata yang berjatuhan dipipinya.

"Karena gue bahagia, akhirnya gue bisa kembalikan lo ke mereka." Sambil melihat kedua orangtuanya Fanya.

"Andai dulu... Kalian tidak putus, pasti kejadian ini tidak akan terjadi." Ucap Ayahnya Fanya.

Devan hanya meneguk ludahnya, terkejut mendengar ucapan dari ayahnya Fanya.
"Tuh Devan dengerin ucapan dari om Herman!" Ledek Tiara.

"Fanya, lo ga bisa bebas sebelum mau balikan sama gue!" Teriak Dion dengan tubuh terikat.

"Ini semua karena Ihsan juga, dia yang memberikan informasi ke kita."

"Gue berterimakasih sama lo, San."

"Santai aja, Fan. Yang penting sekarang lo udah bebas dari tali-tali itu."

Ayah Fanya menghampiri Dion dengan tubuh terikat dan muka merah akibat dipukul oleh Devan dan teman-temannya.
"Apa gunanya kamu menculik anak saya?"

"Karena cinta!"

"Cinta? Sebentar... Kalau ga salah kamu yang menduakan putri saya kan?"

"Saya tidak menduakaannya. Saya ingin dia kembali bersama saya."

"Caramu yang salah, kami tidak akan pernah setuju kalau putri kami menjalin hubungan denganmu! Seharusnya kamu bersyukur, karena kami tidak melaporkanmu ke polisi."

Urusan mereka dirumah Dion sudah selesai. Orangtuanya mengantarkan teman-teman Fanya pulang kerumah masing-masing. Ayahnya, sangat berterimakasih karena usaha dari mereka kini putri tercintanya sudah ditemukan.

Posesif Boyfriend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang