Dua puluh satu

7.1K 223 9
                                    

Sudah 3 hari Fanya dan Dion saling berdiam diri, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Hal tersebut diketahui oleh Devan, yang diam-diam masih memperhatikannya dari jauh.

"Fan, lo udah 3 hari diem-dieman sama Dion. Lebih baik di selesaikan masalah kalian." Bujuk Tiara pada Fanya.

"Gue diem sama dia sengaja, biar sadar. Eh taunya malah sebaliknya."

Bukannya membujuk Fanya yang marah padanya, justru Dion asyik dengan Salsa. Hal ini yang membuat Fanya tambah kesal kepada Dion, dia tidak peka terhadap dirinya.

"Gila ya itu Dion, lagi marahan sama lo juga malah ke yang lain."

"Biarin aja lah Ra, gue cape."

Di lapangan terdengar suara yang sangat berisik seperti ada yang bertanding. Teman-temannya yang lain terburu-buru pergi ke lapangan untuk menyaksikannya.

"Eh ada apa sih ko rame banget di lapangan?" Tanya Fanya pada Fia.

"Lagi ada yang tanding basket, teman-teman Devan dengan kelas 12. Gue duluan takut keburu selesai tandingnya."

Tiara dan Fanya ikut pergi ke lapangan meramaikan pertandingan basket mantannya tersebut.

"Semangat Devan."

"Hai ka Devan, semoga menang ya!"

Begitu para cewe-cewe menggoda Devan, ia memang terkenal di sekolahnya karena memiliki tubuh yang tinggi, ganteng, hidungnya mancung dan rambutnya di jambul, tidak nakal dan dia adalah kapten basket juga.

Ketika mereka di kabarkan putus, 1 hari pun berita tersebut sudah menjadi bahan pembicaraan​ 1 sekolah. Devan dan Fanya memang cukup terkenal di sekolahnya, Fanya yang cantik, tinggi, hidungnya mancung jadi wajar jika ia putus dengan Devan banyak yang ingin menjadi pacarnya.

Selama 30 menit pertandingannya​ selesai, dimenangkan oleh tim Devan.

"Hai Dev, selamat ya!" Sapa Tiara sambil memberikan ucapan selamat."

"Iya Ra, terima kasih." Devan menjawabnya dengan senyum.

"Yang sampingnya ga mau kasih selamat buat kapten basket kita?" Sindir Bagus.

"Eh iya, selamat." Fanya mengulurkan tangannya.

Devan terdiam ketika Fanya mengulurkan tangannya.

"Dev, kenapa diem aja? Gengsi lo salaman sama mantan?" Teman-temannya terus menggoda Devan.

"Iya Fan." Devan mengulurkan tangannya untuk Fanya.

"Gue bahagia karena bisa pegang tangan lo lagi, Fan." Batin Devan.

"Kalau gitu gue sama Fanya duluan ke kelas ya." Tiara melambaikan tangannya kepada Devan dan teman-temannya.

Entah apa yang di pikiran Fanya saat ini, namun tiba-tiba ia teringat dulu dirinya sering menemani Devan bermain basket di siang hari di taman dekat rumahnya​.

"Fan, pulang sekolah main ke rumah lo enak kali ya." Ucap Tiara.

"Boleh kan gue ke rumah lo? Gue bosan di rumah, orang tua belum pulang dari Bandung."

"Fan.. lo sehat kan? Kenapa senyum-senyum sendiri?"

"Fanya Alvira, gue nanya sama lo bukan sama tembok yang diem aja."

"Eh iya.. kenapa?" Fanya tersadar dari lamunannya.

"Gue mau main ke rumah lo."

"Boleh, dateng aja kerumah."

"Lo mikirin apa? Devan ya.."

"Engga ko, ga ada gunanya mikirin mantan."

"Gapapa kali, ga dosa ini mikirin mantan."

Ketika Tiara dan Fanya sedang asyik berbicara, Dion dan Salsa melewati mereka tepat di depan matanya seperti yang sedang pacaran.

"Gue bingung, yang pacarnya Dion itu lo apa Salsa sih fan?"

Fanya hanya terdiam melihat kejadian tersebut, hatinya kini kembali rapuh. Hubungannya mulai renggang tidak seperti di awal, manis.

"Udah waktunya pulang, gue duluan ya. Kalau mau ke rumah datang aja Ra."

Saat Fanya ingin mengambil tasnya di dalam kelas, Dion dan Ihsan sedang berbicara dengan serius.

"Yon, kenapa lo jalan sama Salsa bukan sama Fanya?" Tanya Ihsan.

"Sebenarnya gue suka sama Salsa udah lama, sebelum jadian sama Fanya."

"Maksud lo?"

"Dia hanya pelampiasan, dan gue deketin Fanya biar dekat aja sama Salsa karena dia temannya."

Fanya terdiam mendengar ucapan Dion yang ia dengar baru saja. Ia buru-buru ambil tasnya dan pulang ke rumah.
Supir pribadi Fanya sudah menunggunya dari tadi di depan gerbang sekolah, namanya adalah pak iman.

"Pak iman, kenapa bukan ayah yang menjemput saya?"

"Tuan tadi telfon ada urusan kantor yang tidak bisa di tinggalkan, jadi saya yang disuruh jemput kesini."

Dalam perjalanan Fanya hanya terdiam, melihat jendela mobil yang sedang hujan dan angin yang cukup kencang.

"Hujan dan angin ini dingin kaya sikap kamu ke aku." Batin Fanya.

Sampai di rumah, Fanya berlari menuju kamarnya dan segera merebahkan tubuhnya di kasur sambil memeluk bonekanya lalu ia menangis.

"Kalau kamu ga sayang sama aku, kenapa kamu kasih harapan ke aku? Dan kamu cuma jadikan aku pelampiasan!" Teriak Fanya di dalam kamarnya.

Matanya sembab menangis karena Dion yang ia anggap berbeda dengan Devan pacar sebelumnya, kini mengkhianati dirinya

Siklus pacaran ya gini kenalan, pendekatan, baperin, di tinggalkan lalu mencari yang lain.

Posesif Boyfriend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang