12 • Mission

199K 10.2K 122
                                    

"Siapa yang lo maksud dengan 'orang itu'?"

"Admin akun Lamismamdala, Leona."

"Hubungin Alan sekarang!" Titah Brian yang disambut tautan alis dari Devano. Pertanyaannya adalah, untuk apa melibatkan Alan dalam permasalahan ini?

"Buat apa?"

Brian memutar bola mata sambil mendengus keras, spesies bodoh dan lemot seperti ini kok berani beraninya mendekati kembar nya. Brian bisa jamin jika Devano masuk ke dalam lingkup keluarganya, cowok itu pasti akan berada di barisan terbelakang dari segi kapasitas otak.

"Lo pikir lo mampu ngehadepin dua cewek kriminal sekaligus?"

"Eh, jaga mulut lo ya!" Fenni langsung protes keras setelah mendengar Brian menjulukinya sebagai cewek kriminal.

"Lo diem aja atau gue minta Devano buat nembak kepala lo?"

Ucapan dingin bernada datar dari Brian sukses membuat Fenni diam seketika. Ia tentu tak ingin mati konyol. Masa iya dirinya mati hanya gara-gara efek berurusan dengan gadis sekelas Brisia? Sungguh tidak level. Lagipula Harga dirinya pun terlalu tinggi jika hanya untuk mati konyol di hadapan kedua mantannya tersebut.

〰〰〰

Rumah Alan, tidak berjarak terlalu jauh dari posisi dimana mereka bertiga berada. Setelah mendapat persetujuan cowok itu untuk ikut serta dalam misi penyelamatan harga diri Brisia, Brian langsung melajukan mobilnya menuju tempat yang hanya berjarak 10 menit tersebut.

Setelah sampai di sana, Alan telah menunggu di depan rumahnya persis seperti apa yang diperintahkan oleh Brian.

"Lo, pindah ke belakang."

Mendengar perintah dari Brian, Fenni langsung keluar dari mobil tersebut. Tak ada niatan sama sekali di dalam dirinya untuk kabur, karena kesempatannya benar benar tidak ada. Devano masih menempelinya dengan sepucuk senjata api di genggamannya yang kelihatannya bersiap untuk menghujaminya dengan timah panas.

Setelah Fenni masuk kedalam mobil, Devano tersenyum melihat ekspresi tak percaya yang terlihat jelas di wajah Alan. Apalagi penyebabnya jika bukan pistol di genggamannya?

"Jadi ini beneran misi militer?"

Devano terkekeh pelan menyadari semeyakinkan itu dirinya di mata Alan.

"Santai Lan, this is not real." Ujar Devano pelan sambil mengangkat pistol yang ada di tangan kanannya.

Alan menghela napas lega kemudian. Untung saja itu hanya pistol mainan, jika itu adalah pistol beneran sumpah demi apapun Alan tak akan pernah mau ikut misi ini. Masa depan nya masih cukup panjang, ia tak mau masa depannya itu hancur seketika hanya gara-gara Devano khilaf menembak Fenni yang pada akhirnya akan menyeret dirinya juga ke pusaran hukum.

"Why it's look so real? Lo dapet dimana?"

"Ini punya sepupu gue. Dia punya selusin di rumah."

Alan mengangguk sambil membulatkan mulutnya, di dalam benaknya masih saja terbesit satu hal. Mengapa bisa ada mainan anak-anak yang semirip itu dengan aslinya? Apalagi ini terlihat seperti senjata api sungguhan. Mainan anak jaman sekarang memang aneh-aneh.

Kali ini, waktu yang mereka tempuh untuk menuju destinasi selanjutnya cukup lebih lama dibandingkan sebelumnya. Bukan karena jaraknya yang jauh, melainkan karena keberangkatan mereka bersamaan dengan jamnya orang kantoran pulang kerja. Jalanan begitu macet, alhasil mereka baru bisa sampai di tujuan pada saat menjelang maghrib tepatnya satu jam setelah keberangkatan mereka.

BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang