Hari minggu merupakan hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Selepas shalat subuh tadi Brisia memutuskan untuk tidur kembali di ranjangnya yang empuk.
Ketenangan Brisia mendadak terganggu oleh ketukan pintu. Dari luar terdengar suara Dian memanggil namanya sambil diiringi ketukan pintu. Brisia membuka perlahan matanya, matanya langsung menangkap jam dinding yang terdapat di hadapannya.
Ini masih pukul tujuh pagi, untuk apa Dian memanggilnya? Biasanya wanita itu tak pernah sekalipun mengganggu ketenangan hari minggunya.
Dengan langkah yang gontai, Brisia menuruni tempat tidur dan berjalan menuju pintu lalu membukanya.
"Mama ganggu ya?"
Brisia menggeleng walau sebenarnya jawabannya adalah iya. Ia adalah salah satu orang yang paling tak suka ketenangannya di dalam kamar di ganggu oleh siapapun.
Jika saja yang mengganggu adalah Brian, ia pasti sudah meledak-ledak saat ini. Namun berhubung ini Dian, ia harus bersikap sekalem mungkin. Perempuan itu istri papanya, dan itu berarti ia harus menghormati Dian layaknya mamanya sendiri. Harus ia akui, menyamakan Billa mamanya dan Dian itu tetap saja sulit. Mereka dua orang yang berbeda meski saat ini dalam posisi yang sama.
"Itu, ada temen kamu. Dari tadi sih,"
"Siapa?"
"Mama lupa tanya namanya. Mungkin temen sekolah kamu. Temuin ya? Udah lama nunggu kamu juga."
Brisia masih diam. Ia tak menjawab apapun. Di kepalanya saat ini masih menerka nerka siapakah temannya yang bertemu sepagi ini.
"Masih ngantuk ya Bri? Mama suruh pulang aja ya?" Dian berujar dengan wajah yang sangat bersalah.
Jika boleh tebak, mungkin saat ini Dian sedang merasa bersalah karena telah mengganggu Brisia.
"Suruh tunggu aja. Aku mau mandi dulu." Brisia berujar lalu kembali menutup pintu kamarnya.
Terkadang ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas perlakuan hangat Dian terhadap dirinya. Sampai detik ini, meski telah lebih dari satu tahun mengenal, Brisia masih saja tidak bisa bersikap hangat seperti sikap Dian kepadanya.
Brisia bukannya membenci Dian, ia justru bersyukur bahwa pendamping Papanya kini begitu baik kepadanya maupun pada Brian. Hanya saja terlalu sulit baginya menerima posisi Ibu baru dalam rumah yang kini di sandang oleh Dian.
Setelah selesai mandi, Brisia memakai celana leging hitam selutut dan juga baju kaos putih bergambar lambang Barcelona yang sedikit kebesaran di dirinya. Baju ini adalah baju pemberian Brian, beberapa hari lalu Brian membeli kaos ini secara online dan ternyata kekecilan. Alhasil cowok itu memberikannya pada Brisia daripada tak terpakai.
Rambut Brisia yang tak begitu panjang itu ia cepol asal, wajahnya pun tidak ia beri riasan apapun selain pelembab. Dengan kata lain ia terlihat begitu natural saat ini.
Brisia melongo ketika melihat siapakah yang bertamu ke rumahnya pagi ini, dia Devano. Untuk apa cowok itu datang ke sini? Dan kenapa, ia memakai pakaian seperti itu?
Maksudnya, kenapa Devano memakai celana pendek ketat dan baju yang mirip dengan dirinya? Gara-gara melihat Devano memakai baju itu, Brisia melirik kearah bajunya sendiri. Ternyata, baju itu bukan mirip. Tapi memang baju yang sama.
Jadi, apa ini? Mereka sedang pakai baju couple gitu? Astaga. Bagaimana bisa? Bikin malu saja sih.
"Lagi lagi, kita sehati ya Bri,"
Brisia mengerenyit tak mengerti maksud Devano yang berkata sehati tadi.
"Tanpa di duga, hari ini kita pakai baju yang benar-benar sama." Ucap Devano sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Teen Fiction"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...