Bukan hal yang terlalu sulit untuk menemukan Brisia di tengah keramaian seperti ini bagi Devano. Ia sudah mengira bahwa Brisia akan datang ke stand yang menjajakan es krim di depan sana.
Devano melangkahkan kakinya sambil membawa boneka kuda poni itu di salah satu sisi tangannya. Begitu tiba, Devano langsung duduk di sebelah Brisia tanpa permisi. Ia menyandarkan badannya, sambil menatap gadis itu yang tengah asyik menjilat es krim.
"Gak usah bahas yang tadi tolong. Lupain aja!" Ucap Brisia tanpa menoleh sama sekali.
Devano tersenyum meski gadis itu tak tahu ia tersenyum, karena sekarang Brisia tengah berjalan ke depan untuk membuang stik es krim nya.
"Iya, gak bakal gue bahas." Devano menatap kearah Brisia yang tengah berjalan kembali ke tempatnya semula, kemudian ia menyerahkan boneka itu ke pada Brisia. "Nih boneka lo."
Brisia menerimanya dengan sebuah senyuman manis melengkung di wajahnya. "Makasih,"
"Di jaga baik-baik. Sesuatu yang di dapatkan melalui perjuangan panjang itu sudah seharusnya di jaga dengan baik. Karena dia sudah pasti berharga. Kalau suatu saat lo ingin membuangnya karena sudah bosan, lo harus ingat kembali bagaimana perjuangan orang itu mendapatkannya."
"Ngutip di mana? Tumben jadi orang bijak."
Devano mengendikan bahunya. "Kalimat itu tiba-tiba aja terlintas di otak gue."
Brisia menganggukkan kepalanya, kemudian gadis itu melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. "Masih jam setengah sembilan, lo mau ajak gue pulang atau gimana?"
Devano mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia sedang mencari cari sesuatu yang menurutnya menarik. Pandangannya terkunci pada sebuah bianglala yang tak jauh di hadapannya. Di kepalanya muncul sebuah ide, rasanya ia harus melakukan hal itu di sana nanti.
"Naik biang lala mau?" Tanya Devano yang di respon anggukan oleh Brisia.
Mereka menuju tempat antrian tiket, tak butuh waktu yang lama bagi mereka berdua untuk bisa mendapatkan tiket masuk wahana tersebut.
Setelah mendapatkam dua tiket seharga lima puluh ribu rupiah mereka berdua langsung menaiki wahana tersebut. Brisia dan Devano duduk berseberangan.
Senyum yang begitu manis tercetak di wajah cantik Brisia, gadis itu begitu takjub melihat keadaan di sekitarnya. Lampu lampu dari kendaraan di jalanan begitu indah jika di lihat dari ketinggian. Seisi pasar malam juga terlihat dari atas sini.
"Gila, gue baru tahu kalau Jakarta bisa seindah ini kalau diliat dari atas."
"Iya indah, tapi bagi gue itu masih kalah indah dari satu hal."
Brisia menatap Devano dengan tatapan seperti bertanya apa.
"Yang lo katakan indah ini adalah ciptaan manusia. Namun bagi gue ciptaan Tuhan yang ada di hadapan gue saat ini jauh lebih indah." Ucapan Devano sukses membuat Brisia meleleh seketika. Gadis itu mengulum senyumnya dengan pipi yang terasa memanas.
"Bri tatap gue,"
Brisia memberanikan menatap mata Devano, debaran di dadanya tak bisa ia kendalikan. Rasanya darah di jantungnya seperti di pompa puluhan kali lipat lebih cepat saat ini. Ia benar-benar begitu gugup saat ini, jujur.
"Lo udah tahu kan kalau gue it-----"
"----eh kok berhenti?" Penyebab jantung Brisia berdebar kencang kini mendadak berubah. Kalau sebelumnya itu karena Devano kini penyebab itu di karenakan wahana yang ia naiki.
Wahana ini tiba-tiba berhenti bersamaan dengan matinya lampu di seluruh area pasar malam. Brisia tahu ini pasti bukan pertanda baik, namun ia mencoba untuk bersikap setenang yang ia bisa. Ia tidak boleh panik saat ini, karena panik tidak akan menghasilkan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Teen Fiction"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...