26 • Kenyataan

153K 8K 78
                                    

Bayangan Devano tentang keromantisan mencuci piring bersama seperti di film-film mendadak buyar setelah kejadian tadi.

Yang ia tonton di beberapa judul film biasanya suasana akan sangat romantis ketika si pemeran pria merangkul si pemeran wanita dari belakang lalu mencuci bersama sambil tersenyum dan tertawa riang. Dari sini ia belajar, bahwa memang kehidupan nyata itu tak sesuai ekspektasi dan tak seindah seperti di film-film.

Devano mencuci piring piring itu sendirian. Brisia tak membantunya sama sekali. Gadis itu hanya bersandar di tembok tepat di belakangnya dengan tangan yang dilipat di dada, dan muka yang amat kesal.

Gadis itu terus saja mengomel sepanjang waktu. Disana sedang banyak pegawai padahal, harusnya bisa kan Brisia bersikap manis sedikit saja padanya? Ya setidaknya di depan pegawai pegawai itu. Kalau begini kan Devano kesannya seperti suami takut istri.

"Lo tanggung jawab deh Van!" Katanya setelah cukup lama terdiam sambil terus menyusuri trotoar.

"Tanggung jawab apa? Kita emangnya udah pernah gituan?" Sebelah alis Devano terangkat.

"Ish bukan itu!" Brisia mengepalkan tangannya kesal akibat Devano yang tidak peka akan keadaan.

"Terus apa?"

"Gue pulangnya gimana ini? Uang gue kan habis."

Ya, uang Brisia telah habis. Begitupun Devano. Tadi, mereka pikir setelah mereka selesai mencuci piring maka semuanya akan berakhir. Namun nyatanya tidak. Lelaki si pemilik kafe itu dengan begitu menyebalkan nya meminta agar Brisia dan Devano tetap membayar sejumlah yang ada di dompet mereka masing-masing. Pada akhirnya dengan sangat berat hati mereka menyerahkan uang mereka yang seharusnya bisa di pakai sebagai ongkos pulang.

"Jalan kaki lah, apa lagi?" Devano mengendikan bahunya santai.

"Devano! Rumah gue itu jauh dari sini, ya kali gue jalan sampe rumah. Betis gue bisa mendadak bengkak tau!"

Devano menghela napasnya, telinganya rasanya harus di bawa ke THT besok hari. Siapa tahu gendang telinganya retak akibat terus terusan mendengar Brisia marah-marah dengan nada tinggi.

Tanpa disangka, tiba tiba saja Devano sedikit merunduk di depan Brisia dengan posisi membelakangi.

"Ngapain lo?" Tanya Brisia dengan sebelah alis terangkat.

"Buru naik, gue gendong lo sampe rumah."

Bukannya mengikuti instruksi Devano untuk naik, Brisia justru mendorong Devano sampai cowok itu hampir tersungkur ke trotoar.

"Modus aja lo!"

Devano membalikkan badannya, cowok itu menatap frustasi ke arah Brisia. Maunya Brisia ini apa sih? Tadi gak mau jalan kaki dengan alasan takut betisnya bengkak. Sekarang, ketika Devano sudah mau berbaik hati membiarkan punggungnya saja yang pegal untuk menggendong Brisia sampai rumah malah di bilang modus. Benar-benar ya, perempuan itu sulit di mengerti.

"Terus sekarang mau lo a---"

Tin Tin...

Suara klakson mobil membuat Devano menghentikan ucapannya, sekaligus membuat dua orang siswa SMA yang masih berseragam lengkap itu menoleh ke sisi jalanan tempat dimana mobil sedan hitam itu berhenti.

Kaca mobil perlahan terbuka dan menampakkan orang yang ada di dalamnya. Muka Brisia yang awalnya kesal setengah mati tiba-tiba saja berubah cerah. Gadis itu tersenyum manis menatap cowok ganteng yang duduk di kursi kemudi. Sedangkan Devano tetap pada mukanya yang kusut, dari ribuan orang yang ada di kota ini kenapa harus cowok itu sih yang datang?

"Kalian ngapain disitu malem malem gini?"

"Panjang Bang ceritanya,"

"Sepanjang apa?"

BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang