Di hari Minggu yang cerah ini seharusnya Brisia bisa keluar rumah untuk refreshing setelah penat seminggu bersekolah. Namun kali ini ia tak bisa melakukannya, kesabarannya tengah di uji akibat tugas dari guru seninya.
Tugas ini sebenarnya sudah ada dari satu bulan lalu, namun setiap ada pelajaran seni dan Brisia mengumpulkan tugasnya selalu saja ada yang kurang. Entah kurang simetris, kurang realistis, atau apalah itu.
Teman teman satu kelasnya pun mengalami hal serupa dengannya, dan yang terjadi setelah pelajaran seni usai adalah sumpah serapah kekesalan dari seisi kelas untuk sang guru.
Brisia menghela napas, ia memandang tugu yang baru saja ia buat. Ia mengukurnya dari berbagai sisi, berulang-ulang. Takut hitungannya ada yang meleset dan berbeda dari sketsa. Ia merasa semuanya sudah pas, mulai dari ukuran sampai bentuk.
Tapi, kali ini jika tugasnya di kembalikan lagi karena Pak Yudi merasa tidak puas akan pekerjaannya. Maka Brisia bersumpah, ia akan langsung melemparkan tugu itu ke tong sampah dan berjanji tidak akan membuatnya lagi. Biarkan saja tidak dapat nilai, ia tak peduli.
Suara pintu kamar terdengar di ketuk beberapa kali dan tak lama kemudian muncul Brian dari balik pintu dan langsung menghampiri Brisia yang tengah duduk di tepi kasur.
"Tumben sopan, biasanya main nyelonong aja." Cibir Brisia, karena selama ini Brian memang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Jadi, heran saja ketika cowok itu tiba-tiba melakukannya.
"Gak usah komentar." Brian mengibaskan tangannya. Lalu pandangannya beralih ke sebuah miniatur tugu dari kertas yang tergeletak diatas nakas, cowok itu menarik senyum miringnya. "Udah frustasi tingkat dewa belum?"
"Lo ngomongin ini?" Brisia menunjuk kearah miniatur tugu yang ia buat, dan responnya berupa anggukan.
"Sekali lagi di tolak, depresi gue."
Brian langsung tertawa terbahak bahak, ia dapat merasakan dengan jelas apa yang Brisia rasakan karena dulu ia juga pernah berada dalam keadaan yang sama. Bahkan parahnya Brian sampai memilih untuk tidak mengumpulkan karena ia jengah berulang kali di tolak. Dan pada akhirnya nilainya yang menjadi korban, tapi ia tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
"Gedeg gue sama itu orang, perfeksionis banget perasaan." Ucap Brisia dengan ekspresi yang sangat kesal.
"Sabar, kalau belum di bikin emosi sama Pak Yudi berarti lo belum menjadi murid Mandala yang seutuhnya." Brian menepuk pundak Brisia beberapa kali sambil tersenyum.
"Jadi, lo mau ngapain kesini?" Tanya Brisia.
Selama ini jika Brian sampai repot repot menyebrang masuk kedalam kamarnya pasti cowok itu sedang ada maunya. Brisia yakin kali ini pun begitu.
"Gue mau minta pendapat lo nih," Tambahnya.
"Soal?"
"Besok selasa terakhir pendaftaran SNMPTN."
"Terus?" Brisia menaikkan sebelah alisnya.
"Gue belum daftar,"
"Jadi?"
"Gue masih galau mau milih jurusan apa."
"Kenapa gak ambil Astronomi ITB? Lo kan niat banget tuh mau nyelidikin planet cyberton." Ucap Brisia. Ia masih ingat betul ucapan Brian dahulu, Brian ingin menyelidiki planet cyberton. Ia ingin melihat langsung apakah planet itu benar se hancur yang di ceritakan, dan katanya lagi syukur syukur kalau ketemu para Autobots.
Brian menatap malas kearah Brisia, tangannya gatel mau menjitak. Niatnya untuk menjitak ia urungkan mengingat papanya sedang berada di rumah, dan Brisia pasti akan mengadu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Dla nastolatków"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...