11 • Pistol

203K 10.4K 304
                                    

Sudah dua hari berlalu sejak kejadian hari itu, Brisia tak lagi menampakkan dirinya di sekolah. Bahkan beberapa jam setelah kejadian itu rumornya Brisia pergi meninggalkan sekolah dengan cara yang ilegal, membolos.

Devano menjadi khawatir, itulah alasannya ia berada di sini sekarang. Di depan kelas 12 IPA 1, kelas Brian. Devano menunggu disana selama beberapa menit, Brian katanya sedang asyik bermain mobile legend bersama teman-temannya.

Devano tak mau mengganggu, ia lebih baik menanti kakak kelasnya itu sampai selesai bermain. Ia juga enggan masuk kedalam untuk sekedar menengok Brian, bagaimanapun dia ini adik kelas. Dan perilaku seperti itu diharamkan di sini, ya setidaknya jika ia memang tak siap menerima masalah.

"Lo kenapa nyari gue? Tumben banget." Ucap Brian sesaat setelah ia duduk di sebuah kursi kosong yang berada di depan kelas.

Ya, disana benar-benar kosong. Kelas Brian merupakan kelas unggulan di sekolah mereka. Dan muridnya bisa dikatakan patuh patuh sekali. Pasti setiap guru pernah kan berkata 'saya tinggal dulu, di kelas saja. jangan ramai, tunggu jam istirahat baru boleh keluar' . Jika kelas lain tak menghiraukan sama sekali ucapan seperti itu lain halnya dengan kelas 12 IPA 1, mereka akan benar-benar berada di dalam kelas sampai jam istirahat datang.

"Brisia udah dua hari nggak masuk, kemana?"

"Sakit,"

"Sakit apa?"

"Katanya pusing, tapi diajak ke dokter gak mau."

Devano khawatir jika Brisia itu sebenarnya tidak sakit, ia curiga Brisia sedang takut atau mungkin enggan bersekolah karena kejadian waktu itu. Bukannya Devano mau berburuk sangka atau apa, tapi hipotesanya masuk akal bukan?

"Woi, kenapa diem sih?" Tanya Brian karena Devano hanya diam saja dan tidak merespon. Dari sorot matanya Devano tampak tengah memikirkan sesuatu, tapi entah itu apa. Brian bukanlah seorang telepatis yang bisa secara seenaknya saja membaca pikiran orang lain.

"Enggak, gue cuma lagi memikirkan sebuah kemungkinan aja."

"Apa?"

"Brisia nggak sakit."

"Lo nuduh Brisia bohong, hah?!" Nada bicara Brian menjadi tidak bersahabat. Dia sontak menjadi emosi mendengar ucapan Devano yang terkesan menuduh kembaran nya berbohong. Brisia anak baik-baik, tak mungkin ia melakukan hal buruk seperti itu. Brian mengenalnya lebih dari siapapun.

"Gue gak nuduh, tapi itu hanya kemungkinan. Bukan fisik Brisia yang sakit, tapi psikisnya." Ucap Devano dengan sangat kalem. Ia tak boleh bicara secara menggebu-gebu, ia sadar jika Brian mulai emosi akibat perkataannya. Jika Devano berbicara menyamai gaya bicara Brian, sudah dapat di pastikan pertumpahan darah akan terjadi.

Brian tertawa sinis. Ia tak mengerti apa yang Devano maksud. Pertama cowok itu berkata Brisia bohong, lalu sekarang menuduh bahwa psikis gadis itu sedang sakit. Maksudnya apa lagi? Dia menuduh Brisia gila, begitu?

"Lo kalau ngomong nggak usah ngaco deh! Psikis Brisia seratus persen sehat!"

"That's mean you don't know anything about her."

"I know her more than everyone."

"Oke, gini. Lo tahu dua hari lalu masalah apa yang menimpa Brisia?"

Brian diam tak menjawab, ia terlihat berpikir sejenak sebelum pada akhirnya menggeleng. Brian memang tak tahu apa yang terjadi pada kembaran nya itu pada dua hari kebelakang.

"Ada sebuah video beredar saat dia lagi makan sama gue. Dan di video itu Fenni, mantan gue yang juga mantan lo menuduh gue selingkuh dan menjuluki adik lo pelakor. Tepat dua hari yang lalu, Brisia di permaluin banyak orang di kantin gara-gara skandal video itu. Menurut Ghea, Brisia sempet nangis di rooftop dan setelah itu dia pergi keluar sekolah pada saat jam pelajaran masih berlangsung."

BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang