Tangisan Brisia masih berlanjut sejak kejadian tadi. Kini gadis itu berada di sebuah ruang rawat inap sebuah rumah sakit swasta yang jaraknya tak begitu jauh dari Universitas tempatnya olimpiade tadi.
Di ruangan yang tidak terlalu besar dengan warna putih yang begitu mendominasi setiap sudut ruangan terbaring seseorang yang tadi telah menyelamatkannya dari sesuatu yang benar-benar tak pernah ia duga sebelumnya.
Sebelum Devano benar benar habis ditangan ke lima orang yang sudah pasti kolega Ferdi, Alan datang membawa beberapa petugas keamanan kampus. Ketika Alan tiba tak ada aksi perlawanan dari ke limanya termaksud pula Ferdi. Mereka lebih memilih kabur entah kemana.
Melihat Devano yang tak berdaya melawan ke lima orang tadi membuat hati Brisia seakan tersayat. Mengapa cowok itu rela mengorbankan dirinya sendiri sampai seperti ini hanya untuk menyelamatkan Brisia?
Seharusnya Devano tidak melakukan hal bodoh dengan menyelamatkan dirinya yang pada ujungnya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Jika seperti ini kejadiannya, Brisia jadi lebih memilih di perkosa saja tadi. Biarkan, atau jika perlu di bunuh pun tak masalah. Daripada ia harus hidup seperti ini, merasa bersalah terhadap orang yang menyelamatkan dirinya. Hidup dengan rasa bersalah bukanlah suatu hal yang menyenangkan untuk di jalani.
Suara pintu terbuka terdengar di telinga Brisia, di ambang pintu terlihat Alan berdiri disana. Entah sudah yang keberapa kalinya cowok itu datang menanyakan keadaan Devano lalu kembali lagi menunggu di luar karena tak ada berita positif yang bisa di dapatkannya.
Beberapa menit setelah Alan kembali menutup pintu, tiba-tiba saja ada pergerakan dari tubuh Devano. Tepatnya tangan cowok itu yang bergerak. Brisia tersenyum bahagia, jika di film film pertanda semacam ini mengisyaratkan si pasien akan segera sadar. Dan semoga saja begitu.
Tak lama setelahnya, cowok itu benar-benar membuka matanya setelah sekitaran dua jam cowok itu hanya terpejam dan tak berdaya.
Brisia awalnya berfikir bahwa setelah Devano tersadar kejadiannya akan sama seperti di film film, yaitu si pasien akan berkata aku dimana, aku kenapa. Atau mungkin aku siapa jika pasien itu lupa ingatan. Namun pikirannya itu tampaknya salah besar. Devano tak mengatakan kata-kata yang seperti di film film itu. Cowok itu justru tersenyum menatapnya tanpa berkata apa-apa.
"Van, lo udah sadar?" Brisia bertanya tentang suatu hal yang sebenarnya ia sudah tahu sendiri jawabannya.
"Kalau belum, terus yang lagi senyum sama lo ini siapa? Hantu?" Ucapnya dengan suara yang terdengar masih sedikit lemah. Maklum saja, Devano kan baru siuman.
"Kenapa senyum sih? Ada yang lucu emang?"
"Kalau lucu gue harusnya tertawa. Lagi pula gue senyum karena gue seneng orang pertama yang gue lihat lagi adalah lo, Brisia."
Sebelumnya, ketika kesadarannya belum hilang sepenuhnya hal yang Devano takutkan dan khawatirkan adalah Brisia. Ia takut Brisia akhirnya di apa apakan oleh Ferdi, ia takut ia tak bisa melihat Brisia dalan keadaan yang baik lagi. Namun melihat Brisia ada disini saat ini membuat ketakutan dan kekhawatiran itu berubah menjadi kelegaan.
Mendengar perkataan Devano barusan, Brisia hanya diam tak mampu menjawab apa-apa. Ia merasa begitu bersalah telah membuat Devano hampir saja kehilangan nyawanya karena menolong dirinya tadi.
"Bri?"
Brisia menatap Devano, tatapannya mengisyaratkan bahwa ia bersiap mendengar apa yang akan di katakan oleh Devano.
"Gue minta maaf ya karena gak bisa datang tepat waktu tadi, kalau aja gue dateng lebih cepat mungkin si brengsek itu gak mungkin bisa buka kemeja lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Teen Fiction"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...