Devano baru saja kembali masuk kedalam kelasnya dengan muka yang amat sangat kesal, cowok itu lalu melemparkan sebuah botol air mineral ke pada Alan yang dengan sigap di tangkap oleh cowok itu sebelum mengenai kepalanya dan pada akhirnya membuat benjol.
"Arghhhh! Kesel gue!" Devano menyandarkan tubuhnya di kursi sambil mengusap wajahnya frustasi.
Alan yang berada di sebelahnya nampak kebingungan dengan perubahan suasana hati Devano yang se mendadak ini. Rasanya belum sepuluh menit berlalu ketika Devano memilih meninggalkan kelas yang sedang jam kosong dengan wajah yang berseri seri. Dan sekarang, cowok itu terlihat begitu kesal dengan alasan yang sama sekali tidak Alan ketahui.
"Lo kenapa sih?" Tanyanya sambil menaruh botol air mineral itu di atas meja.
"Gue lagi kesel! Kenapa pake nanya lagi sih lo?!" Devano menjawabnya lengkap disertai bentakan, membuat Alan menghela napas menahan sabar.
Kalau tidak ingat Devano ini sahabatnya, sudah pasti Alan akan menjitak kening nya lalu memilih pergi saja. Kurang ajar sekali dia, sudah di perhatiin malah seperti itu.
"Ya maksud gue, elo kesel kenapa?"
"Brisia, masa dia nerima minuman yang di kasih sama si murid baru itu! Eh udah gitu ya, pake acara senyum senyum gak jelas lagi! Gimana kagak gondok gue lihatnya. Padahal nih ya, gue kan udah beliin minum juga buat dia."
"Dia tahu lo bakal beliin minuman?"
Devano menggeleng, membeli minuman adalah inisiatifnya sendiri setelah melihat Brisia begitu lelah duduk di pinggir lapangan dengan raut muka tidak berdaya dan benar-benar minta di kasihanin.
"Kalau gitu bukan salah dia juga. Lagian, kenapa gak lo kasih aja minumannya ke dia? Mungkin aja kan dia masih haus?"
"Ya gengsi aja gue."
"Gengsi kenapa?" Alan menaikkan sebelah alisnya.
"Si Gionino ngasih minuman isotonik, lah gue masa cuma ngasih air mineral yang gak ada manis manisnya sama sekali."
Begitu kesal ketika menyaksikan bahwa apa yang ia bawa tidak sebanding dengan yang Gionino bawa. Persetan dengan minuman isotonik ber botol biru itu.
Alan terkekeh pelan, lucu saja. Devano yang mantannya sudah ber puluh puluh, mendadak seperti seorang anak abege tanggung yang baru saja mengenal apa itu pacaran tanpa pengalaman.
"Gak usah kaya orang susah gitu deh! Brisia itu pacar lo, sampai kapanpun posisi lo itu lebih di depan dari pada si anak baru itu."
Devano diam. Ia mencerna baik baik perkataan dari Alan. Ada benarnya juga. Seharusnya Devano dapat percaya diri, bahwa se gencar apapun ancaman yang mungkin akan di berikan Gionino terhadap hubungannya tetap tidak akan merubah apapun.
Brisia sudah menjadi miliknya, jauh sebelum kehadiran cowok itu. Dan selamanya seharusnya akan seperti itu, tidak peduli sekeras apapun badai yang menerjang. Devano akan tetap berdiri tegak, mempertahankan apa yang memang sudah di takdir kan menjadi miliknya.
Devano menghambur keluar kelasnya dengan semangat membara, kembali. Lagi lagi ini membuat Alan heran setengah mati. Kok ada manusia yang suasana hatinya dapat berubah se mendadak itu?
"Brisia mana?" Tanya Devano pada salah satu siswi yang baru saja keluar dari kelasnya.
Siswi itu melirik sebentar kedalam kelas sebelum pada akhirnya menatap Devano kembali, "Nggak ada di kelas, mungkin masih di ruang ganti."
Tanpa berujar terima kasih sama sekali, Devano langsung tancap gas menuju ruang ganti untuk menemui Brisia di sana.
Suasana ruang ganti begitu ramai di penuhi oleh teman teman sekelas Brisia, ini membuat Devano berdecak kesal. Karena dengan begini, tandanya akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk dapat bertemu dengan Brisia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Teen Fiction"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...