Doa yang Brisia panjatkan supaya Brian menerima semua ini dengan lapang dada sepertinya tidak di kabulkan oleh tuhan. Entah karena mungkin Brisia kurang khusyuk saat berdoa atau ini memang sudah suratan takdir yang mau tidak mau harus di jalani.
Brian sangat marah saat Brisia menceritakan semuanya. Bahkan, malam harinya saat Mama juga datang untuk menjelaskan ulang pada Brian, kembarannya itu mengunci diri di kamar tak mau keluar.
Brisia merasa serba salah, ia bingung kubu mana yang harus ia bela. Di satu sisi mamanya juga bersalah karena tidak memberi tahu apapun sebelumnya. Namun di sisi lain, Brian juga salah dalam bersikap. Apapun kesalahan yang di perbuat mamanya, tidak sepatutnya Brian bersikap seperti itu. Brian seharusnya tetap menghormati mamanya itu.
Brisia menghembuskan napasnya kasar, ia melirik jam tangan yang melekat di tangannya. Pukul tiga tepat, seharusnya orang itu sudah datang sejak lima belas menit yang lalu.
Orang yang Brisia tunggu bernama Tomi, usia duapuluh tahun, seorang mahasiswa jurusan manajemen di salah satu universitas negeri terbaik di kota ini. Untuk wajah dan bentuk fisik lainnya, entahlah ia tidak tahu persis karena baru akan bertemu untuk pertama kali hari ini.
Pertemuan ini sama sekali bukanlah inisiatif dari Brisia. Billa mamanya lah yang merancang semua ini. Brisia hanya mengikuti alurnya saja.
Dari arah utara Brisia melihat seorang laki-laki yang kalau tidak salah adalah pemilik kedai es krim tempat Brisia dan Devano sempat mendapat hukuman mencuci piring karena tak bisa membayar. Laki-laki itu berjalan kearahnya. Apa mungkin ia yang bernama Tomi itu?
Benar saja, laki-laki itu duduk di sebelah Brisia duduk. Laki-laki itu menyapa dirinya dan memperkenalkan diri sebagai anak dari Andre Hartono, kekasih mamanya.
Brisia menganggukkan kepalanya, pantas saja dulu ia pernah merasa bahwa wajah ini tidak asing baginya. Jika dikaitkan dengan wajah Andre Hartono, wajah Tomi ini seperti wajah pria itu namun dengan rentang usia yang lebih muda. Wajar sih, dia kan anaknya.
"Udah lama menunggu?"
"Lo ini memang punya kebiasaan telat, atau baru kali ini telat?" Brisia bertanya sarkatis, dan Tomi entah kenapa lelaki itu justru terkekeh. Apa yang lucu memangnya?
"Masih dendam sama gue gara-gara yang waktu itu?" Tanyanya sembari menyunggingkan sebuah senyum miring di wajahnya.
"Usia lo beneran dua puluh tahun?" Brisia enggan menjawab pertanyaan itu, harusnya Tomi ini mengerti bagaimana rasanya di permalukan di depan publik seperti waktu itu.
Tomi mengangguk, namun di wajahnya seperti tersirat pandangan aneh ketika mendengar Brisia mempertanyakan mengenai usianya.
"Oh, padahal gue kira usia lo dua puluh lima keatas."
"Wajah gue boros maksudnya?"
Brisia mengangguk dengan lugas, "Exactly."
"Terimakasih pujiannya."
"Gue gak memuji."
"Gue anggap begitu."
Brisia menghela napasnya berat, dari sekian juta manusia yang ada di bumi ini mengapa harus Tomi sih? Mengapa harus dia yang akan menjadi calon kakak tirinya? Jika di lihat sekilas, Tomi ini adalah tipikal orang yang menyebalkan.
"Jadi, agenda kita apa hari ini?" Brisia memiringkan posisi duduknya sedikit menghadap kearah Tomi yang dengan begitu santai menyenderkan tubuhnya di bangku taman dengan tangan yang terlipat di dada sambil menghadap ke depan.
"Duduk disini aja. Kita ngobrol, saling mengenal satu sama lain."
"Kok gue merasa seperti lagi pedekate ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
Teen Fiction"Mimpi kali Lo! Gue gak akan pernah mau jadi pacar playboy kaya Lo! " -Brisia Adelina Wijaya- "Mungkin sekarang lo bisa bilang gak suka sama gue. Tapi gue punya seribu satu cara untuk bikin lo jatuh cinta sama gue." -Devano Hardian Kusuma- Siapakah...