II

76.8K 4.5K 25
                                    

Aku membaringkan pipi kananku pada meja, merenungi nasib ku yang agak-agaknya mengenaskan. Mata kuliah dari dosen tanpa ekspresiku telah berakhir beberapa saat yang lalu, tapi tampaknya teman-teman sekelasku masih bermalas-malasan untuk keluar dari kelas.

Bia menghampiriku, diikuti Eva dan Revan. Menarik kursi di sekelilingku, dan duduk, menatap aku yang mungkin terlihat mengenaskan. Buktinya, mata-mata mereka terlihat iba. Aku memalingkan wajahku, dan meletakan pipi kiriku, memberikan mereka pandangan belakang kepalaku.

"Lu masih hidup kan Ra?" Itu Bia, cuma dia satu-satunya yang memanggilku Rora, ga tahu juga kenapa.

"Mawar, pasti ga seburuk itu. Nanti Eva temenin deh ke ruangan pak Ditya." Eva mengelus rambutku, dan aku hanya menghela nafas. Mogok bicara.

"Lagian lu nekat banget sih War, udah tau dia killer gitu, malah di tantangin."

Aku kemudian duduk tegak, membuat Eva yang mengelus rambutku kaget. Memandang Revan dengan seluruh kebencian yang bisa ku kumpulkan dari dunia ini padanya. Bisa-bisanya si pengkhianat satu ini bicara begitu, bukannya nolongin! "Siapa juga yang nantangin! Lagian lu-lu pada ga setia kawan banget sih, gw lagi kayak gitu malah pada diam aja!"

"Ye War, mau nolongin apaan? Lu aja ga di apa-apain."

Ugh! Rasanya mau ngegetok kepala Revan yang super bebal itu! "Gue dipanggil ke ruangannya, Van! Di panggil! Itu artinya lebih parah dari pada potong poin!" Ujarku, dengan kesabaran yang sewaktu-waktu bisa meledak.

"Tapi Ra, belum tentu juga. Coba positive thinking dulu, mungkin lu cuma bakal dikasih peringatan." Bia, menggenggam tanganku, mungkin memberikan dukungan.

Sayangnya, aku tak terdukung sama sekali. Ini sudah pasti aku bakal mengulang tahun depan.

"Iya Mawar, nanti Eva temenin, ya?" Eva tersenyum, ikut-ikutan Bia menggenggam tanganku.

"Iya Mawar, nanti abang Revan temenin juga, ya?" Menyeringai, khusus kasus Revan, aku tahu dari matanya kalau dia hanya menggodaku.

Aku mendengus kesal, tapi terpaksa pasrah. Habis mau bagaimana lagi, kalau pepatah bilang nasi sudah menjadi bubur. Syukur-syukur buburnya bisa diubah jadi bubur ayam, jadi ga buruk-buruk banget. Tanpa mau berkata-kata lagi, aku pun berdiri. Serentak ke tiga temanku memandangku.

"Mau kemana lu?" Bia tampak khawatir.

Aku memutar mataku, dan berjalan menuju pintu meninggalkan mereka yang masih terduduk dengan heran. Seperti layaknya di film-film, aku berbicara melalui punggungku, ekspresiku seakan mengatakan ketidakpedulian ku pada dunia. Pokoknya intinya, sok keren. "Kelas bu Layla lah, kalian ga mau masuk?"

"Tapi, Mawar, kelas bu Layla kan hari ini off."

"Hah?!" Menabrak salah satu bangku, aku sukses melongo.

"Hahahaha..." Revan tertawa keras, menjadikanku pusat perhatian untuk kedua kalinya hari itu.

Menghela nafas, ini sih namanya anti klimaks.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang