LIII

58.4K 2.5K 117
                                    

Debu peri berterbangan di hadapanku, saat aku membuka mata yang berat karena karena bulu mata palsu. Berkilauan seakan-akan aku berada di dunia dongeng, walaupun pada kenyataannya tidaklah begitu. Karena detik berikutnya, aku berteriak kesakitan ketika seorang wanita di belakangku menyisir rambutku kuat-kuat kebelakang.

"Aduh, Mbak! Pelan-pelan dong." Mengusap satu titik di kepalaku yang rasanya nyeri, ku pandangi dia melalui kaca dengan marah.

"Iya Mbak maaf-maaf, ini sisirnya nyangkut." Ucap wanita itu terlihat bersalah, kali ini mulai menyisirku pelan-pelan.

"Tenang Ra, tenang. Lu sensitif banget sih seharian ini." Bia yang duduk di sebelahku sibuk bermain onet di ponselnya. Padahal seharusnya dia disini sebagai pendukung moralku.

"Rasa-rasanya gue mau kabur." Aku menghela nafas.

Bia melirik sekilas, sebelum kembali pada onetnya. "Yakin? Bukannya lu yang nungguin banget hari ini."

"Ya iya sih, tapi tekanannya itu lho, ga kuat." Aku nyaris menutup mata dengan kedua telapak, ketika tanganku tiba-tiba di hentikan oleh wanita yang masih menyisir rambutku.

"Mbak, nanti make up-nya rusak."

Butuh sedetik bagiku untuk mencerna, sebelum akhirnya aku mengangguk, dan melirik Bia dengan tampang memelas. "Kan? Tekanannya makin nambah."

Bia mengedikan bahu, kemudian mematikan ponselnya. "Kata siapa menikah itu mudah. Lagipula, lu ngejalanin ini cuma sekali seumur hidup, jadi nikmati aja." Bia menepuk punggung tanganku, akhirnya benar-benar melakukan sesuatu yang mendekati dukungan moral.

Dari tadi kek.

Aku menghela nafas berat, dan memandang wajahku di cermin. Nyaris tak mengenali diriku sendiri dengan semua riasan ini. "Bahkan ini belum hari pernikahanku. Bagaimana jika hari sesungguhnya nanti?" Karena ini baru satu langkah, namun entah mengapa membuat pernikahanku nantinya terasa semakin nyata.

***

Ini bukan acara besar, yang datang juga cuma keluarga dan kolega-kolega terdekat. Karena itu mama cuma menyewa sebuah restoran berkapasitas tak lebih dari seratus orang. Di dekor sedemikan rupa, hingga lebih mirip seperti taman es dibandingkan tempat makan. Semua serba putih, bahkan dress code para undangan juga putih.

Kecuali aku, yang memakai kebaya panjang berwarna nude, dan Pak Ditya dengan kemeja beraksen batik berwarna peach, yang sekarang tengah tersenyun tipis di seberang ku. Jelas menggoda. Selebihnya, hanya keluarga inti kami berdua yang berbeda. Dengan pakaian berwarna cokelat muda dengan aksen emas untuk mengimbangi aku dan Pak Ditya.

Namun yang membuatku heran, kenapa Bia ikut-ikutan memakai warna yang sama? Bia tak memberitahu, dan aku tak bertanya. Seakan-akan jawaban itu menggantung begitu saja di udara.

Menghela nafas pelan, aku berusaha mengingatkan diriku ini bukan waktunya berpikir yang tidak-tidak. Melirik Pak Ditya, aku terkejut karena dia tak berhenti memandangku dan itu membuatku semakin gugup. Jadi aku memilih menundukkan kepala, dan berpura-pura jari-jari ku begitu menarik.

Aku bahkan tak mendengar kata-kata di sekelilingku, baik itu pembawa acara, ataupun para tetua. Rasanya tetap ingin kabur!

"Dria,... Dria,... Dria!"

"Ha?! Kenapa, Ma?" Aku menoleh kepada Mama dengan pandangan terkejut. Lalu menggigit bibir, sekarang sadar kalau semua orang tengah memusatkan perhatiannya padaku. Apa yang sudah aku lewatkan?

"Kok malah bengong sih?! Itu kamu ditanya, bersedia apa enggak?" Mama mulai sewot, mungkin dipikirnya aku tak benar-benar serius menghadapi pertunangan ini.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang