"Bi! Kalau nanti gue udah gak ada, gue nitip semua novel gue ya. Tolong kuburin sama jasad gue." Aku menangis terisak, sementara sebelah tanganku menggenggam ponsel yang kutempelkan di telinga. Berguling diatas bantal, kukubur wajahku. Aku tengah berbicara pada Bia.
"Lu kenapa, Ra? Gue kerumah lu ya." Suara Bia terdengar panik, kemudian aku bisa mendengar suara berisik dia turun dari tempat tidur.
Aku memutar tubuh dan telentang, lalu menarik nafas, sedikit terisak. "Pak Ditya ngeliat bra gue."
Lalu aku mendengar suara pecah dari sisi Bia, sementara gadis itu tak mengatakan apapun untuk beberapa saat. Jadi aku memanggil namanya, kalau-kalau dia menutup telepon, karena tiba-tiba saja sekarang begitu hening.
"Bi, lu masih di situ kan?"
Kemudian aku mendengar suara nafasnya yang berat. "Lu bilang apa tadi, Ra? Pak Ditya ngeliat bra lu?"
Terus aku histeris lagi. "Iya! Makanya! Gue mau bunuh diri aja rasanya, Bi!" Dan aku kembali ingat bagaimana aku merampas tas kertas itu dari meja Pak Ditya, dan berlari keluar ruangannya tanpa mengatakan apapun. Bahkan aku sempat membanting pintu, kurasa aku sudah tamat sejak menginjakan kaki dari ruangan Pak Ditya.
"Kok bisa? Dia ngintip lu? Atau ngegrepe-grepe lu? Gue gak nyangka Pak Ditya kayak gitu. Pelecehan seksual tuh namanya!"
"Wow! Wow! Wow! Berhenti Bi, berhenti! Gue gak diapa-apain!" Saking kagetnya aku bahkan lupa untuk mengasihani diri. Kuseka air mataku dengan tisu yang sejak tadi cuma ku remas-remas, dan duduk di atas tempat tidur. "Dia cuma ngambil baju gue yang kegantung di kamar mandi dia."
"Hah? Maksudnya? Gue gak ngerti."
Akupun menghela nafas, lalu dimulailah ceritaku tentang minggu kemarin. Dari aku yang hujan-hujanan, aku yang nyaris saja tertabrak, hingga berakhir di ruangannya dan mengganti baju dengan pakaian olahraganya. Sesekali aku membersit hidung, tapi Bia tak mengatakan apapun hingga ceritaku berakhir.
"Terus tadi siang, dia ngasih itu baju ke gue. Tapi parahnya lagi, dia pake bilang kalau dia juga ngeliat bra gue!" Aku kembali histeris dan mengubur wajahku. "Gue mau mati aja, Bi! Mau mati aja!!! Gue gak bisa lagi ketemu dia!"
Bia menghela nafasnya. "Ra, gue rasa Pak Ditya gak nganggap lu cewek."
Mengangkat wajahku kembali, aku duduk tegak lagi. "Maksud lu?"
"Gue rasa, kenapa dia enteng banget ngomongin soal bra lu, mungkin karena dia nganggap itu miniset anak SD."
"Bi, yang benar aja dong." Aku menggeram, menahan kesal. Padahal aku udah serius-serius menceritakannya, serius-serius menumpahkan kegundahan ku. Bisa-bisanya Bia malah bercanda kayak gitu!
"Seriusan Ra, kalau diliat diri fisik lu itu mungkin aja terjadi. Apalagi di sekeliling Pak Ditya ada Bu Layla, yang jelas-jelas lebih seksi dari lu, gak mungkinlah dia mikir macam-macam soal lu."
Terhenyak, kalau dipikir-pikir kata-kata Bia ada benarnya juga. Selama ini, perlakuan Pak Ditya padaku tak ada perasaan romantis di dalamnya, lebih berasa orang dewasa ngasuh anak. Jadi, selama ini cuma aku saja yang terlalu banyak berpikir? Mungkin Pak Ditya hanya menganggapku adik? Makanya dia begitu peduli. Atau lebih parahnya, mungkin dia cuma nganggap aku anak kecil? Ya Tuhan!
"Terus, gue harus gimana dong, Bi? Kayaknya, gue mulai ada rasa sama Pak Ditya." Kalimat terakhir terucap begitu pelan, diutarakan seperti ini membuatku malu.
Tapi Bia tertawa, begitu keras hingga aku harus menjauhkan ponselku dari telinga. "Kan, kena karma lu!" Ucapnya penuh penekanan. Aku berdecak sebal. "Dari kapan lu sadar kalau lu suka sama dia?" Nada Bia menggoda, dan sejenak aku benar-benar berniat menutup telepon ku. Tapi kalau dipikir-pikir, selain Bia pada siapa lagi aku bisa curhat soal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...