XII

39.2K 2.6K 30
                                    

Aku memandang lurus-lurus, tepat ke arah Pak Ditya yang tengah memberikan materi di depan kelas. Bukan berarti aku memperhatikan materinya, tapi aku memperhatikan orang yang menjelaskan. Kata-kata Bia kemarin terngiang-ngiang di kepalaku. Jadi aku penasaran, makanya aku memilih duduk paling depan.

Pak Ditya tinggi, kakinya panjang, rambutnya hitam--sangat hitam. Sedikit berantakan, mungkin dia tidak sempat merapikannya sebelum berangkat mengajar. Rambut depannya bahkan hampir menutup matanya, sepertinya dia butuh potong rambut. Punggungnya lebar, lehernya cukup jenjang. Ketika dia berbalik, aku bisa menatap wajahnya. Dari bibirnya yang--cukup mengejutkan--berwarna merah, pasti dia tidak merokok. Tulang hidungnya cukup tinggi, aku bisa mengerti mengapa banyak yang menyukainya. Lalu matanya, kupikir aku suka matanya, warnanya cokelat cantik dan memandangku dengan tajam.

Tunggu! Memandangku?

Tersentak, aku duduk dengan tegak, kemudian memasang senyum canggung yang takut-takut. Sejak kapan dia memperhatikan ku? "Ya, Pak?" Tanyaku.

Pak Ditya menatapku dengan dingin. Matanya tepat memandang mataku, dan itu membuatku tak nyaman. "Kamu boleh keluar kalau menurut kamu pelajaran saya membosankan." Ucap Pak Ditya, melipat lengan di dadanya.

Aku melirik ke kiri dan kanan, entah sejak kapan, ternyata aku sudah menjadi tontonan. Kembali menatap Pak Ditya, aku memasang wajah paling polos yang bisa kulakukan. "Maaf, Pak, saya agak kurang tidur tadi malam, jadi konsentrasi saya sedikit terpecah." Aku menunduk, biar terlihat merasa bersalah. "Saya tidak akan ulangi lagi." Tambahku.

Aku meliriknya dari bulu mataku, Pak Ditya masih menatapku beberapa saat sebelum berbalik dan kembali mengajar. Menghela nafas pelan, diam-diam aku mengutuk Bia di dalam hati karena sudah menempatkanku ke posisi tak enak seperti tadi. Ternyata, kepergok memperhatikan seseorang diam-diam rasanya seperti ini?

***

"Cieee... Yang di notice Pak Ditya..." Bia menyikut-nyikut lenganku, pandangannya mengejek. Kelas Pak Ditya baru saja selesai.

Dengan kesal, aku memukul kepala Bia pelan dengan buku catatan, tak peduli dengan seruannya yang lebih karena kaget dari pada sakit. "Ini gara-gara lu tau!"

"Lho, kok gue sih!" Bia memandangku tak terima.

"Ya kalau gak gara-gara lu ngomong kayak gitu kemarin, gue kan ga bakal merhatiin Pak Ditya!" Jelasku, memasukan buku-buku ke dalam tas. "Lagian kok dia bisa sadar sih gue lagi ngelamun. Apa dia itu cenayang?" Tambahku lagi, menoleh pada Bia yang memutar matanya.

"Gimana dia gak sadar! Orang lu ngelihat dia kayak mau nelan dia hidup-hidup begitu!" Sindir Bia.

"Masa sih, Bi?" Seruku, kaget. Masa iya aku sampai segitunya. Kalau Bia tak bercanda, duh malu banget. Pantas saja Pak Ditya sampai menegurku.

"Siapa yang mau ditelan Mawar? Pak Ditya?" Revan, yang menyandarkan punggungnya di depan white board memandangku dingin. "Dimutilasi dulu atau langsung telan, War?"

Menatap Revan, aku tak paham mengapa dia bersikap seperti itu--memandangku dengan dingin maksudku. "Enaknya gimana?"

"Mutilasi aja, jadi gue bisa bantu motong-motonginnya." Ujarnya, masih terkesan serius.

Tapi aku tertawa, karena meskipun tak lucu, ini pasti candaan kan? "Sadis lu."

Revan kemudian mendekat, membungkuk di depanku, tangannya mencengkram ujung meja. Wajahnya yang begitu dekat menatapku tajam, memaksaku memundurkan tubuh hingga menempel pada punggung kursiku. "Gue gak suka lu mandangin dia kayak tadi, dan gue juga sebenarnya gak suka lu dekat-dekat dia."

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang