Pohon yang rindang menghalau matahari yang perlahan naik menuju puncak. Angin yang bertiup, terhembus semilir mempermainkan helaian rambut. Ini tidak cukup pagi untuk menjadi waktu yang tepat berolahraga, tapi beberapa orang cukup terlambat untuk memulai hari. Maka mereka berlari, dengan pakaian ketat yang menyerap keringat. Ini kota besar, dan meskipun mereka punya rasa penasaran yang mengganggu, mereka tak cukup peduli untuk mencari tahu. Bagi mereka, apa yang terjadi pada orang lain, tak ada hubungannya dengan hidup mereka.
Dan di sanalah aku, berada di tengah-tengah itu semua. Terisak, dan tenggelam pada masalahku sendiri.
Air mata yang mengalir ke pipiku terserap oleh jeans yang ku pakai, isak tangisku teredam dan nafasku tersengal. Aku memeluk lututku, tak peduli jika saat ini aku terlihat seperti tunawisma. Rasa tersayat di hatiku jauh lebih perih dari pada pendapat orang. Dan kepercayaanku selama bertahun-tahun yang hancur rasanya lebih menusuk pada setiap tarikan nafasku.
Aku benci hari ini. Aku benci Revan. Dan aku benci Pak Ditya.
"Roza,..."
Aku mendongak, dan melihat Pak Ditya berlutut dengan satu kakinya di depanku. Membentangkan sebuah jaket melewati pundak dan menyelimuti ku, wajahnya terkejut ketika melihatku. Tapi dia tak mangatakan apapun, alih-alih pria itu mengulurkan satu tangannya, dan mengusap air mataku.
Aku menggigit bibirku yang gemetar, berusaha menahan tangis sementara air mata kian menderas di pipiku. Pak Ditya terdiam, raut wajahnya tak tertebak. Tapi aku bisa lihat frustasi melintas di matanya, kemudian pria itu menarik kepalaku, dan mendekapnya di dada. "Sshh..." Tangannya mengelus rambut, sementara yang satu lagi memeluk punggungku. Mencoba menenangkan ku.
Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar meraung.
Aku membenci pria itu yang menjadi alasan aku terjatuh dalam masalah ini. Dan aku membenci pria itu, karena aku semakin menyukainya hari demi hari. Apakah itu masuk akal?
***
Aku menepuk-nepuk tisu basah di wajahku, tak benar-benar berani melihat kaca. Pasti saat ini aku terlihat sembab dan memalukan. Menghela nafas, dari kaca ku lihat Pak Ditya yang baru keluar dari apotik. Buru-buru aku menundukan kepala, mengusap-usap mataku dengan tisu basah. Sekarang, aku merasa menyesal karena mengangkat teleponnya tadi.
Naik ke mobil, Pak Ditya mengulurkan sekotak susu cokelat di depan wajahku yang tertunduk. Aku mengangkat kepala, dan memandangnya. Wajah Pak Ditya datar. "Minum ini cepat." Ujarnya dengan nada memerintah.
Aku mengambil kotak susu itu, dan menggumamkan terimakasih. Lalu menusuknya dengan sedotan dan minum. Awalnya kukira aku tak merasa haus, tapi tak kusangka setelah meminum susu itu ternyata aku cukup membutuhkannya hingga tanpa sadar menandaskannya dalam hitungan tak lebih dari dua menit!
Pak Ditya menarik tangan kananku, itu membuatku terkejut. Dengan spontan aku menariknya, tapi Pak Ditya kembali menarik tanganku kepadanya. "Diam sebentar." Ujarnya pelan, kemudian mengambil kapas dan membasahinya dengan suatu cairan lalu menepuk-nepuknya pada pergelangan ku yang tak kusadari ternyata terluka.
Itu adalah tempat dimana gelang menggores ketika Revan mencengkram ku tadi. Gelang itu sudah tak ada, mungkin putus. Padahal itu gelang kesayanganku.
"Apa yang terjadi?" Tanya Pak Ditya tanpa menatapku, matanya terfokus pada pergelangan yang kini tengah di oleskan sebuah gel transparan.
Aku menelan ludah, meremas ujung kaosku dengan gugup. Apa yang harus ku katakan padanya? Aku tidak ingin menyebut-nyebut masalah Revan. Bukan hanya karena aku ingin melindunginya--hal terakhir yang ku lakukan dengan mengingat persahabatan kami bertahun-tahun ini--tapi aku juga tak ingin mengungkitnya. Itu membuatku malu. "Tidak ada--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomansaHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...