XXXII

31.7K 2.4K 77
                                    

Aku berdiri di depan ruang Pak Ditya dengan keadaan basah kuyup, tetesan-tetesan air hujan mengalir turun dari ujung-ujung bajuku. Rambutku yang semula tergulung cantik di punggung kini terkulai lemas, menempel pada sisi wajah dan leherku. Aku tak mau tahu bagaimana penampilanku sekarang, satu hal yang tak terbantah, aku pastilah tampak mengerikan.

Pak Ditya meletakan payungnya yang terbuka di samping pintu, dan masuk ke dalam ruangannya. Tak peduli pada sepatunya yang memercikan air. Pria itu meletakan kantong kertas yang diambilnya dari mobilnya ke atas 'kursi'ku. Seharuanya dia berterima kasih karena aku merapikan buku-bukunya yang berserakan secara berakala. Kalau tidak, semuanya pasti sudah terpercik air sekarang!

Berterimakasih? Tidak, seharusnya hari ini aku yang berterimakasih. Dia menyelamatkan ku, bukan sekedar penyelamatan biasa, ini menyangkut nyawaku. Itu membuatku berhutang sangat besar padanya. Pada ketepatan waktunya, pada tarikannya yang kuat, pada dadanya yang bidang, pada pelukannya yang--hangat.

Roza! Lu barusan hampir mati, dan lu sempat-sempatnya mikirin dada orang? Pelukan orang? Jangan gila dong! Ayo... Ayo... Waras!

"Ngapain kamu berdiri terus di sana? Cepat masuk!" Nada dingin yang keluar dari kata-kata Pak Ditya menembusku mengalahkan pakaian membeku yang tengah kukenakan. Dia memerintah, dan dia marah.

Jadi aku masuk, menggigil sekujur tubuh, bahkan memeluk diriku sendiri tak membuahkan hasil. Mati-matian aku tak mau membayangkan pelukan Pak Ditya tadi, bukan hanya karena tak ingin mengingat peristiwa traumatik itu, tapi aku juga malu! Bagaimana sekarang aku harus memandang Pak Ditya? Berkaca-kaca merasa bahwa dia penyelamat hidupku? Tarpaku karena untuk kedua kalinya aku merasakan dadanya yang bidang? Atau mendamba dengan kehangatan pelukannya?

Stop it, Roza!

"Ganti baju kamu pakai ini. Sekarang." Pak Ditya memberikan kaos dan celana training yang masih terbungkus plastik. Ada logo fakultas di dadanya.

Aku mengambil pakaian itu, dan membawanya ke kamar mandi. Menutup pintu di belakang punggungku, aku bersandar, merasa kakiku lemas. Lalu tiba-tiba saja aku sudah terisak pelan. Berusaha untuk tidak terdengar oleh Pak Ditya di luar, memeluk pakaian itu di dada aku kembali terbayang-bayang kejadian di parkiran tadi. Aku nyaris mati! Kalau tak ada Pak Ditya, aku nyaris mati. Dan pemahaman itu menghantamku cukup keras.

Menarik nafas cukup panjang, dan membiarkan sisa-sisa keterkejutan ku meleleh keluar, aku pun membuka pembungkus plastik. Itu baju olahraga, dengan kaos berkerah berwarna putih dan logo fakultas yang di embos di dada berwarna biru, dipadukan dengan celana training hitam bergaris putih di sampingnya. Aku menggantung baju itu pada gantungan di pintu, meloncat agar bisa mencapainya. Gantungan itu terlalu tinggi! Lalu mulai membuka pakaianku sendiri, menggantinya dengan pakaian olahraga milik Pak Ditya.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Pak Ditya sudah mengganti kemejanya dengan kaos berkerah berwarna hitam. Dia tampak keren, sementara aku, kuduga akan terlihat konyol. Baju olahraga ini sangat kebesaran untukku, bahkan tanpa celana dia bisa menutupi pahaku. Sementara celananya, jauh lebih parah. Aku harus menggulung pinggangnya tiga kali dan melipat ujung kakinya empat kali, baru aku bisa mengenakannya. Ini membuatku malu, dan menyesal karena sudah keluar dari kamar mandi.

"Duduk." Perintah Pak Ditya, tangannya mengaduk sesuatu pada cangkir keramik putih. Uap yang mengepul dari cangkir itu membuatku membayangkan kehangatannya.

Aku duduk, di kursi ku yang sekarang kosong, lalu Pak Ditya meletakan cangkir putih tadi di hadapanku. Itu teh, dengan asap mengepul yang menandakan betapa hangatnya cairan itu.

"Minum." Perintahnya lagi, sebelum berbalik dan menarik handuk yang tersampir di punggung kursinya.

Aku menyesap teh itu perlahan, rasanya manis dan berbau melati. Namun yang terutama adalah, teh itu hangat, dan itu adalah apa yang kubutuhkan untuk tubuhku yang ternyata belum berhenti kedinginan.

Pak Ditya meletakan handuk di atas kepalaku sebelum duduk di kursinya. Menatapku dengan pandangan dingin. "Keringkan rambutmu." Itu adalah perintahnya yang entah keberapa kali dalam lima belas menit terakhir ini.

Tapi aku tak punya alasan untuk menolaknya, jadi aku melakukan perintahnya, dan mengusap handuk itu pada kepalaku dan rambutku yang panjang. Padahal aku ingin kembali menyesap tehku.

"Kenapa kamu ke kampus hari libur begini?"

Aku menatapnya, nadanya tak sedingin tadi tapi bukan berarti cukup lembut juga. Bersembunyi di balik handuk yang masih kuusap di kepalaku, aku menunduk. "Dari kemarin, saya lupa nyiramin bunga mawarnya, Pak." Jawabku pelan. Aku mengintip Pak Ditya dadi balik bulu mataku, dan dia masih memandangku dengan dingin.

"Lalu kenapa kamu harus menerobos hujan seperti tadi? Kamu tidak tahu kalau itu bahaya? Tidak bisa menunggu reda di suatu tempat dulu?"

"Saya takut hujannya gak reda-reda, hari udah sore. Jadi saya pikir, kalau cepat sampai saya bisa cepat pulang."

"Dan kalau saya gak kebetulan ngeliat kamu lari-lari ngehampiri mobil kayak gitu, kamu bisa aja udah ketabrak. Tahu?!"

Aku semakin menundukan kepalaku, tidak berani menjawab. Meskipun aku heran kenapa dia ada di kampus hari minggu seperti ini. Kebetulan sekali bukan, menemukanku yang tengah butuh penyelamatan. Wahai alam semesta, apa yang sebenarnya kau ingin katakan padaku?

"Sudah merasa lebih hangat?" Aku mendongak, karena suara Pak Ditya tiba-tiba melembut. Dia masih menatapku, tapi kemarahan yang semula terpahat di wajahnya menghilang, berganti khawatir.

Aku mengangguk pelan, membiarkan handuk di atas kepalaku, aku kembali menyesap teh hangat. Aku bersyukur bertemu Pak Ditya saat ini, sebersyukur itu hingga merasa teh ini tiba-tiba saja terasa lezat.

"Sudah agak tenang?" Pak Ditya mengulurkan tangannya, mengusap ujung mataku.

Itu membuatku bergidik dan sedikit menghindar, tapi aku mengangguk. Kurasa dia sendiri tampaknya tak menyadari apa yang di lakukannya, karena setelah itu dia menarik tangan seakan tak terjadi apa-apa dan menyesap kopi miliknya. Sementara kehangatan jarinya dipipiku bertahan jauh lebih lama, itu membuatku gugup.

Menandaskan kopinya dan meletakannya di meja, Pak Ditya berdiri, meraih kunci mobil dan mencabut sebuah flashdisk dari komputer di mejanya. "Kalau begitu ayo pulang, saya akan antar kamu." Ucapnya, kemudian berjalan menuju pintu.

Buru-buru kuhabiskan tehku dengan terkejut, merasakan lidahku terbakar sebelum mengikutinya berjalan kepintu. Lalu, kulihat pot mawar di bingkai jendela, dan seketika itu pula aku ingat tujuanku kemari hingga menembus hujan. "Pak sebentar, saya siram mawarnya dulu." Ujarku, berbalik ingin ke kamar mandi mengambil air.

"Udah saya siram." Pak Ditya mengambil payungnya, di luar masih hujan, tapi tidak begitu deras lagi.

Dengan menarik nafas panjang, akupun mengikuti Pak Ditya keluar. Membiarkan pria itu kemudian mengunci pintu ruangannya. "Pak Ditya, kenapa bapak ke kampus hari minggu?" Tanyaku, meskipun berterimakasih karena kehadirannya menyelamatkanku, aku penasaran. Nyaris tak ada siapapun di kampus hari libur begini, jadi mengapa dia juga harus datang?

"Mengambil flashdisk, jaga-jaga biar soal ujiannya gak kamu copy besok." Dan begitu saja, pria itu membuatku terpaku sementara dia terus berjalan dan menuruni tangga. Sebaik apapun dia, seberterimakasih apapun aku, Pak Ditya ternyata tetap Pak Ditya. "Roza! Kalau kamu lama, saya tinggal!"

Menggigit bibir dan memutar bola mataku, akupun menghentakan kaki menghampirinya.

Hari ini aku membencinya. Tapi meski begitu aku tahu, aksi penyelamatannya tadi tak akan pernah kulupakan. Dan ini mungkin karena teh yang tadi dia berikan, atau kekhawatiran yang dia tunjukan, atau bahkan karena kehangatan jari dan pelukannya, tapi sejak tadi, dadaku terasa begitu hangat.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang