"Ra, jadi kemarin gimana?"
"Ha?" Aku memasukan buku dan alat-alat tulis ku ke dalam tas. Dosen kewirausahaan, baru saja keluar. "Apanya yang gimana?"
Bia memasukan bukunya asal ke dalam tasnya dengan terburu-buru, sebelum mendorong bangkunya tepat di depanku. Tubuhnya condong dengan penuh semangat, membuatku reflek mundur karena risih. "Kemarin lu jadi ke kantor pak Ditya kan? Terus? Potong point? Diapain aja lu?"
Aku berdecak, dan menutup tasku. "Apaan! Dia rese banget sumpah!" Menyandangkan tali tasku ke bahu, aku berdiri dan berjalan menuju pintu.
Bia kemudian dengan berisik menyusul, dan menggandeng lenganku. "Rese gimana? Pak Ditya kan serem banget, jarang ngomong. Kemarin aja pas lu ngomong gitu ke dia, anak-anak pada kaget. Ga ada yang berani tau!"
Aku berhenti mendadak, yang membuat Bia nyaris jatuh karena ikutan berhenti tiba-tiba. Tapi sebelum gadis itu protes, aku menatapnya dengan tatapan serius. "Lu percaya ga kalau ada model kerangka di kantornya."
"Hah?!" Bia berseru terkejut, ya wajar sih pertama kali aku melihatnya juga seterkejut itu. "Buat apaan?! Dia kan bukan dosen biologi!"
"Itu dia!" Kembali berjalan, Bia yang masih menggandeng tanganku jadi ikut terseret. "Gue rasa, dia itu lahir di planer pluto! Makanya rese! Bayangin aja, kemarin gue datang ke kantornya, tapi di cuekin berjam-jam," lebay sih, tapi terserahlah. "Terus, pas dia sadar ada gue di situ, dia malah lupa nama gue. Ga cuma itu, yang lebih parahnya lagi, dia nanya salah gue apa!" Jelasku berapi-api.
"Terus lu jawab apa?" Tanya Bia penasaran.
"Ya gue bilang ga tau lah, kan emang gue ga salah. Jadi aneh aja kalau gue di hukum gara-gara itu."
"Terus, udah selesai gitu aja? Lu di maafin?"
Menggeleng pelan, aku jadi ingat kalau masalah ini belum selesai. "Dia bilang gue ga boleh masuk kelas dia sampai gue tahu kesalahan gue apa."
Kali ini, Bia yang berhenti tiba-tiba di ambang pintu, dan memaksaku ikut berhenti juga. "Gila Ra, lu sadar kan mata kuliah dia itu ada dua? Jumlahnya empat sks! Mata kuliah lanjutan lagi! Kalau lu ga lulus semester ini, lu harus ngulang tahun depan."
"Ya gue tahu Bi!" Melepaskan rangkulan tangan Bia, aku menggigit bibirku. Khawatir. "Tapi kan gue emang ga salah."
"Rora, gue tahu lu sebenarnya sadar salah lu dimana."
Kurasa, karena itu Bia menjadi sahabatku. Dia mengenalku dengan sangat, terkadang bahkan melebihi diriku sendiri. Kali inipun begitu, kurasa Bia benar, jauh di otakku, aku tahu apa salahku. Karenanya, aku menghela nafas dan melanjutkan langkah.
Baru keluar dari pintu, tiba-tiba seseorang merangkulkan tangannya di pundakku. Nyaris berteriak karena kaget, aku menoleh ke samping untuk melihat ke si pelaku, dan untuk kedua kalinya aku menghela nafas.
"Kenapa lu, War? Capek banget gitu? Perasaan tahun kemarin kewirausahaan ga berat deh kuliahnya." Revan menyeringai, memainkan alisnya untuk menggoda.
Aku memutar mataku. "Yang berat itu tangan lu di pundak gw! Makan apa sih lu? Steroid?" Sindirku.
Untuk kedua kalinya Revan memainkan alisnya, seakan tiba-tiba saja merasa bangga. "Wah, Mawar akhirnya sadar kalau gue punya otot!"
"Haha, lucu!" Melepaskan tangan Revan di pundakku, aku berjalan mendahuluinya.
Revan tertawa, tapi mensejajarkan langkahnya.
"Eva mana?" Tanya Bia, yang mengambil posisi di samping ku, membuatku terapit di tengah-tengah.
"Balikin buku ke perpus," jawab Revan kembali merangkulkan tangannya ke pundakku. Kali ini, aku tak menepisnya. "Tapi dia bilang bakal nyusul. Jadi mau kemana? Udah ga ada kuliahkan?"
"Gue lapar! Dan ngeliat kalian mesra-mesraan kayak gitu ga bikin gue kenyang." Tapi pada kenyataannya, Bia justru menatap layar ponselnya.
"Siapa yang mesra-mesraan sih, Bi." Ujarku malas, ikut-ikutan mengeluarkan ponselku, mengecek notifikasi.
"Jangan gitu dong, Nabilla sayang. Kalau abang Revan jadian sama neng Mawar, kan Nabilla yang untung. Nanti abang traktir sushi, ma ga?"
Mengalihkan perhatiannya dari ponsel nyaris seketika, Bia memandang Revan dengan semangat. "Wah Rev! Serius ya! Janji lho!"
Melepaskan rangkulannya dan mengulurkan tangannya melalui kepalaku, Revan mengacak-acak rambut Bia, yang kemudian dihadiahi decakan sebal oleh Bia. "Siap Non! Janji pramuka deh! Makanya, di dukung abangnya."
"Iya! Iya! Rambut gue berantakan nih!" Bia menghindar, dan merapikan rambutnya.
Aku memutar mataku--untuk kesekian kalinya--tak benar-benar menanggapi candaan Revan. Terlalu sering digodain kayak gini, rasanya udah kebal!
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...