XLIX

34.8K 2.5K 351
                                    

Aku membanting pintu kamar ku dengan kesal. Tak habis pikir, bagaimana bisa Mama menjodohkanku dengan pemuda seperti Andra. Membayar minuman ku saja dia tidak mau, bagaimana menanggung hidupku nanti?! Aku dipermalukan!

Jika dibandingkan dengan Pak Ditya, mereka bagai kerak bumi dan langit! Neraka dan surga!

"Argh! Kesal!!!" Aku melompat ke atas tempat tidur, dan menenggelamkan wajahku pada selimut yang empuk. Berteriak frustasi sekuat-kuatnya, berharap kasurku dapat meredam suaraku. Aku membenci pemuda itu!

Membalik tubuh dan telentang menghadap konstelasi bintang di langit-langit kamar setelah puas berteriak, aku menarik nafas panjang-panjang. Pikiranku sekarang penuh, yang anehnya juga terasa kosong sekaligus. Tadi kukatakan pada Andra, kalau aku akan menolak perjodohan ini. Begitu yakin, seakan-akan aku sudah bisa mengambil kendali. Tapi pada kenyataannya, aku bahkan tak punya siasat untuk mewujudkannya. Dan itu membuatku mengutuk pemuda itu lagi, lagi, dan lagi.

Ya Tuhan, bagaimana aku harus bilang pada Mama kalau Pak Ditya mau melamarku?!

Pintu terketuk, dan aku terkejut. Seakan jawaban dari doaku langsung diproses. Mama melongok kan kepalanya melalui daun pintu. Senyum wanita paruh baya itu terlalu lebar hingga membuatku curiga. Mama meminta izin ku untuk masuk, jadi aku mempersilahkan.

"Lagi apa kamu?" Tanyanya basa-basi, itu sebuah permulaan. Perasaanku semakin tak enak, sementara orang tuaku itu duduk di ujung tempat tidur, masih sumringah. "Tadi kemana aja sama Andra?"

Aku duduk, dan bersila menghadapnya. Wajahku tertekuk, semoga itu bisa memberikan bayangan pada Mama bahwa aku membenci pemuda itu. Bahwa setiap pertemuanku dengannya hanya akan membawa bencana. Kali-kali saja Mama bisa berubah pikiran. "Minum es kelapa, tapi masa aku bayar sendiri. Cowok macam apa kayak begitu." Ujarku kesal.

Tapi Mama tersenyum, dan menepuk lututku. "Anaknya suka jahil kayaknya, maklumin aja. Tapi dia baik kok, sayang. Percaya deh sama Mama. Lagian es kelapa kan murah."

Aku berdecak. "Bukan masalah uangnya, Ma! Tapi attitude dia!" Jadi ingat waktu Pak Ditya membawaku ke alun-alun kota, makan sate padang dan es potong. Mereka benar-benar berbeda! "Sumpah aku gak bisa sama orang kayak gitu."

Menghela nafas, Mama kemudian beringsut mendekat. Tangannya mengelus kepalaku, senyumnya memudar menjadi prihatin. Semoga itu pertanda baik. "Mama tahu, perjodohan ini berat buat kamu. Tapi Mama harap kamu bisa sedikit bersabar. Gak semuanya semenakutkan yang kamu pikirkan, kok Dria." Tapi ternyata bukan. Kenapa sih Mama harus sekeras kepala ini!

"Ma, tau gak sih kalau ini sama aja Mama ngejual aku?" Ujarku dengan nada pasrah.

Wajah Mama kemudian berubah begitu signifikan. "Kamu ini ngomong apa?!" Hardiknya, marah. Aku paham, mungkin aku sudah tidak sopan. Tapi rasa-rasanya kesempatanku untuk merubah pikirannya tipis, dan itu membuatku merasa tak aman.

"Aku ini gak mau di jodohin, Ma. Aku punya orang yang aku suka. Dia bahkan mau ngelamar aku." Aku memandang Mama dengan memohon.

Tapi Mama kemudian berdiri, pandangannya keras. Bibirnya bahkan menipis, yang artinya dia menahan kesal. "Gak semua yang kamu suka itu bagus buat kamu, Dria. Mama juga gak ngejodohin kamu sama sembarang orang. Mama kenal keluarganya, Mama kenal Aditya, mereka itu orang baik!"

Apa aku terlalu frustasi hingga berhalusinasi mendengar nama Pak Ditya? Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba menjernihkan pikiran. Dan saat aku membuka mata, kulihat raut wajah Mama, dan aku merasa tak punya kesempatan. "Ma, tetap aja aku--"

"Mama gak mau dengar apa-apa lagi! Pokoknya sabtu ini, kita makan malam keluarga. Ini permintaan langsung dari calon kamu!" Ujarnya tegas, memotong kata-kataku dengan tajam. Mama kemudian berbalik dan tanpa peduli aku memanggilnya, dia keluar dari kamar dengan membanting pintu. Membuatku meringis dan bertanya-tanya apakah pintuku akan rusak.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang