XXVIII

31.5K 2.3K 38
                                    

"Gimana kemarin?" Bia memainkan alisnya, menggodaku.

"Gimana apanya?" Memotong bakso ku, aku memakannya dengan santai.

"Memang kemarin ada apa?" Eva menatap kami berdua, penasaran.

Aku menggoyang-goyang sendokku, dan berdecak. "Gak ada apa-apa, Va."

"Yah, gue pikir ada gosip." Tampak kecewa, Bia menusuk mie ayamnya dengan ganas.

Aku tertawa. "Kemarin gak ada apa-apa, tapi gue gak bilang gak ada gosip." Melirik kedua temanku satu persatu, aku berpura-pura terlihat misterius. "Dan gue rasa, ini berita bagus buat lu, Ev."

"Buat Eva? Apaan?" Eva terlihat bingung, dan aku semakin melebarkan senyumku.

"Pak Ditya, bisa dipastikan single!"

"Itu kan bukan berita baru. Gue kira ada gosip apaan." Bia mendengus, dan menyendok mie ayamnya. Sesekali gadis itu menatap ponselnya, dan mengetik. "Revan bilang dia ada urusan."

"Tapi Bi, ini gue dengar langsung dari Pak Ditya. Dan gue rasa, dia juga gak tertarik sama Bu Layla. Soalnya, dia bilang dia lagi ga minat nyari pasangan." Ujarku menggebu, kemudian melirik Eva yang sibuk mengaduk latte dinginnya. "Tapi tenang aja Ev, itu artinya Pak Ditya juga gak ada hubungan apa-apa sama Bu Layla." Ujarku menenangkan.

Eva mengangkat kepalanya dan menatapku dengan eskpresi bingung, mungkin dia hanya ingin menyembunyikan perasaannya. "Ha? Kenapa Mawar ngasih tahu Eva. Memang apa hubungannya sama Eva?"

Tersenyum menggoda, aku mencolek tangan Eva. "Gue tau lu suka sama Pak Ditya kan..."

"Ha?! Enggak kok, Mawar!" Eva menggeleng dengan kuat, seakan itu bisa membuatnya cukup meyakinkan untuk menyangkal. Tapi aku tahu lebih baik, aku sudah melihat reaksi Eva kepada Pak Ditya. "Beneran, Mawar. Eva gak suka Pak Ditya." Bersikeras, gadis itu bahkan sampai melotot padaku.

Aku tertawa karena reaksinya, tapi juga mengangguk, berpura-pura paham. Jika Eva ingin menyembunyikannya, maka aku tak akan memaksa gadis itu untuk mengakuinya. "Iya Eva... Iya... Pokoknya, gue cuma mau ngasih tahu kalau Pak Ditya single." Ujarku kalem.

Eva masih menatapku sangsi saat ponselnya memberikan notifikasi. Gadis itu membuka pesan, dan wajahnya berubah. Ada semu merah di pipinya, dan senyum yang membuat wajahnya yang bulat semakin manis. Kemudian dia menatap aku dan Bia bergantian. "Harus pergi, ada panggilan." Ucapnya menggoyangkan ponselnya kepasa kami, dan berdiri.

Bia dan aku mengangguk, lalu setelah Eva akhirnya melambai diapun pergi. Aku menatap punggungnya hingga memghilang dari pandangan, kemudian memandang Bia yang tengah menikmati mie ayamnya.

Aku menggigit bibir, sebelum membuka tasku dan mengeluarkan foto yang ku dapat dari ruangan Pak Ditya. Mengulurkannya kepada Bia, aku menunggu hingga gadis itu mengalihkan fokusnya dari mie yang dimakannya pada foto Pak Ditya di hadapannya.

Bia mengambil foto itu, menatapnya sejenak kemudian menatapku. "Lu bilang dia single." Tanyanya curiga.

"Adiknya."

"Gak mirip." Bia memperhatikan foto itu lebih seksama.

"Gue juga mikir gitu, rambut nih cewek keriting. Padahal rambut Pak Ditya lurus." Ujarku, menusuk-nusuk baksoku. "Makanya gue gak bilang pas ada Eva, takut dia kecewa. Tapi gue pikir, Pak Ditya bohong."

"Lu dapat nih foto dari mana?"

"Kemarin pas gue lagi beresin ruangannya, gue nemu diselipan buku."

"Dia tahu?"

"Enggak."

"Terus dia bilang ini adiknya?"

"Enggak juga." Aku kembali menggigit bibirku, sekarang mulai sangsi.

"Terus, lu tau dari mana ini adiknya?"

Aku merebut foto itu dari Bia, dan memandangnya nyaris dengan tatapan kosong. "Karena Pak Ditya bilang dia punya adik." Bahkan di telingaku pun itu terdengar salah. Alasanku tak benar-benar kuat.

Bia menghela nafasnya keras, dan kembali memakan mie ayamnya. "Yah berarti dia gak bohong dong. Dan gue rasa, kalau cewek itu bukan adik-adikkannya, berarti adiknya Pak Ditya bukan nih cewek." Ujarnya santai.

Aku meneliti foto itu lagi, setelah di utarakan seperti itu, rasanya wanita ini dan Pak Ditya tak benar-benar mirip. Itu membuatku kecewa dan juga penasaran. Jadi siapa sebenarnya gadis dalam foto ini? Jika Pak Ditya memang tidak punya pacar, jadi apakah ini hanya temannya? Teman yang begitu akrab hingga membuat Pak Ditya bisa tersenyum seperti itu?

"Atau itu mungkin mantannya, mengingat ini foto lama."

Mendongak begitu cepat, aku memandang Bia kaku. Rasanya seperti disiram air es. Untuk apa Pak Ditya menyimpan foto mantannya? Apakah karena Pak Ditya masih belum move on? Karena itu jugakah dia belum ingin mencari pasangan?

"Ra, lu gak apa-apa? Muka lu pucat!"

***

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan ketika tiba-tiba pintu kamarku di ketuk. Aku berseru mempersilahkan masuk, sementara buku yang tengah ku baca kuletakan di atas nakas, dan aku duduk bersila bersandar pada kepala tempat tidur.

Mas Yozha masuk ke kamarku dengan tersenyum ragu, dan menarik bangku meja belajarku mendekat ke tempat tidur. Lalu duduk di atasnya. "Belum tidur?"

"Mas, ayo kita lewati sesi basa-basi nya. Kenapa?" Suaraku datar, masih merasa sedikit marah dengan kejadian Mas Yozha membentak Bia, walaupun sekarang tampaknya Bia sudah tidak marah lagi padanya.

Mas Yozha berdecak pelan, kemudian menyandarkan punggungnya dan menaikan satu kakinya ke pinggir tempat tidur. Tangannya terlipat di dada. "Lu masih marah soal Keira? Gue udah minta maaf lho sama dia."

"Udah tahu! Tapi aku masih kesel aja karena Mas kayak gitu di depan Rianti. Lagian Mas juga sih, ngapain masih pacaran sama dia coba? Kasar gitu."

"Dia itu sebenarnya baik, lu aja yang belum kenal." Bela Mas Yozha, dan aku membalasnya dengan pandangan skeptis. "Seriusan! Lagian dia setia, zaman sekarang susah nyari cewek setia tau!"

"Percuma setia, kalau hobinya ngamuk-ngamuk di depan umum!" Sanggahku.

Mas Yozha menghela nafas. "Tapi Mas sayang sama dia, dan Mas pengennya kamu juga bisa nerima dia."

"Mas, yang namanya sayang doang sih dalam hubungan gak bisa dijadiin modal buat nikah! Emang Mas gak mau serius gitu? Cuma mau main-main doang?" Sejenak, Mas Yozha terdiam. Wajahnya menampilkan pergulatan emosi, dan itu membuatku curiga. Rasanya tiba-tiba perasaanku tak enak.

Menurunkan kakinya, Mas Yozha kemudian menumpukan siku di atas lutut, menjalin jemarinya dan membungkukan badan. Menatapku dengan serius. "Justru itu yang mau Mas omongin. Mas mau minta tolong kamu ngomong ke Mama, soalnya gara-gara kamu juga Mama jadi gak suka sama Rianti. Padahal, gue niatnya mau serius sama dia."

Menegakkan punggungku, aku menatap Mas Yozha tajam. "Mas mau serius sama dia? Serius sampai nikah gitu?" Mas Yozha tersenyum dan mengangguk, tapi aku menggeleng. "Gak, aku gak setuju Mas! Aku gak suka sama Rianti."

"Dria,... Dia itu sebenarnya baik."

"Itu kan menurut Mas, menurutku enggak. Dan aku gak mau dia jadi kakak ipar aku!"

"Dri, please. Jangan gitu dong. Gue minta tolong sekali ini aja sama lu, janji gue bakal kasih apapun yang lu mau sebagai kompensasi deh." Suara Mas Yozha membujuk senyum tak lepas dari wajahnya, tapi itu membuatku muak.

Aku turun dari tempat tidur ku, dan berdiri. Memandang Mas Yozha dengan tak suka. "Mas, aku gak mau jual hati nurani. Apalagi soal ini! Kalau Mas masih berkeras juga, Mas ngomong aja sendiri sama Mama. Aku gak mau ikut campur. Asal Mas tahu, kalaupun Mas dapat izin dari Mama sama Papa, aku tetap gak rela Mas nikah sama dia!" Ucapku tegas, kemudian berjalan menuju pintu meninggalkan Mas Yozha. Tiba-tiba merasa tak tahan melihat kakakku itu, rasanya seperti terkhianati. Dan aku marah luar biasa.

Sampai kapanpun aku tak akan merestui Mas Yozha dan penyihir itu!

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang