XXXIV

30.7K 2.3K 61
                                    

Pada akhirnya, baik Eva dan Revan tak satupun mengantarku ke rumah Bia. Karena tepat sebelum Revan bisa kabur, teman-teman himpunannya mencegat kami dan menarik dia dan Eva pergi. Sampai sekarangpun aku tak mengerti apa baiknya bergabung dengan himpunan.

Jadi, masih dengan kesal karena itu aku menaiki tangga menuju kamar Bia sambil ngedumel. Niatku, saat bertemu dengan gadis itu aku ingin langsung menumpahkan kekesalanku padanya. Tapi saat aku membuka pintu kamarnya, ternyata Bia tak ada di dalam, padahal Tante Dila--Mamanya Bia--seharian ini dia tidak keluar kamar. "Hhh, mungkin di kamar mandi."

Meletakan tasku di bawah kaki tempat tidur, aku kemudian melompat ke atasnya. Membiarkan tubuhku yang telentang terpantul beberapa kali akibat tekanan pegas kasur Bia. Kemudian, pandanganku terpaku pada langit-langit kamarnya. Langit-langit itu sama seperti milikku, ada konstalasi bintang menggunakan glow in the dark yang tertempel. Aku dan Bia melakukannya pada masing-masing kamar kami ketika kami SD dulu, dan lucu rasanya menyadari bahwa dia juga tak melepaskannya meskipun kami telah beranjak dewasa.

Aku melamun memandangi rasi bintang di atasku, jika dipikir waktu cepat sekali berlalu. Baik aku, dan Bia. Masing-masing dari kami punya masalah sendiri-sendiri, yang tak kusangka tak bisa diungkapkan begitu saja secara gamblang. Ada rahasia-rahasia yang kami sembunyikan dari satu sama lain, dan yang mengejutkan baik aku dan dia tampaknya tak merasa kalau itu salah.

Sejak kapan kami seperti ini? Saling menyimpan rahasia. Saling diam. Padahal dulu, baik Bia dan aku menganggap masing-masing dari kami adalah buku harian kedua. Lalu, mengapa sekarang tidak lagi?

Gak bisa gini. Gue harus cerita semuanya ke Bia. Gak ada alasan untuk menyembunyikannya.

"Astaghfirullah!!!"

Aku terkejut dan bangun, di pintu kulihat Bia juga menatapku dengan terkejut. Tangannya di dada, reaksi umum saat kaget. Lalu, gadis itu mendekatiku, masih mengelus-elus dadanya.

"Rora! Bikin kaget aja sih!" Ujarnya kesal, dan duduk di atas tempar tidur juga.

Kembali berbaring, aku menatap lagi bintang-bintang di atasku. "Orang gue gak ngapa-ngapain. Lagian lu dari mana tadi?"

"Kamar mandi." Jawabnya pendek, kemudian terbatuk-batuk. Aku meliriknya, gadis itu meraih tisu di meja nakas untuk menutup mulutnya kemudian dia bersin.

"Lu gak apa-apa?"

"Gue sakit, Ra, gak mungkin gak apa-apa."  Mata gadis itu sayu, aku jadi tidak tega melihatnya.

"Lagian lu ngapain hujan-hujanan sih?" Tapi kemudian aku ingat kejadian kemarin, aku pun hujan-hujanan. Kalau bukan karena Pak Ditya yang membuatku 'hangat' lagi, mungkin aku akan bernasib sama dengan Bia. Yeah, baju olahraga dan teh panas itu menyelamatkanku.

"Lu sendirian?" Bia ikut berbaring di sebelahku. "Bukannya Eve sama Revan katanya mau ikut?"

"Rapat himpunan, jadi gak bisa datang."

"Terus berita baik yang mau lu sampein apaan?"

Aku menoleh ke samping, menatapnya yang juga menatapku. "Langsung ke inti nih?"

"Mau basa basinya emang sampai kapan?"

Nyengir, akupun bangkit dan duduk. Memposisikan tubuh di depan Bia, mulai agak bersemangat. "Ini tentang Mas Yozha."

Bia batuk-batuk lagi, kurasa flunya memang parah. "Kenapa dia?" Tanyanya, ikut duduk namun bersandar pada kepala tempat tidur.

"Kemarin masa dia nanyain lu. Gue rasa kencan dia kemarin sama Rianti bermasalah. Padahal pas pergi dia kayaknya happy-happy aja, terus pas pulang kok yang dibahas malah lu." Aku menggeleng-geleng, memberikan efek provokatif pada ekspresiku. "Gue rasa dia mulai tertarik sama lu."

"Soalnya kemarin dia perginya sama gue."

"Makanya! Aneh kan--eh tunggu! Apa?! Pergi sama lu?!" Menatapnya terkejut, aku tidak menyangka berita yang ini. Ternyata bukan hanya aku yang menyembunyikan sesuatu, tapi setidaknya Bia selalu menjadi orang pertama yang akhirnya mengaku. "Dia bilang kencan, jadi gue pikir sama Rianti."

"Enggak, sama gue. Kita pergi ke taman hiburan."

"Dan lu hujan-hujanan sama dia?"

"Yep."

"Disana gak ada tempat buat berteduh apa sampe lu harus main hujan-hujanan kayak film India?" Dan kembali aku mengenang kejadian kemarin, rasa-rasanya kata-kata ku munafik banget!

"Baru hujan-hujanan aja lu udah bilang gue kayak reka adegan film India. Apalagi kalau gue kasih tahu gue nembak Mas Alder terus nyium dia."

Mulutku terbuka, mataku tak berkedip. Sampai kapan aku harus terus-menerus mendapat kejutan dari gadis di depanku ini? Lama-lama aku bisa kena sakit jantung kalau diserang syok terus-menerus. "B--Bi, lu bilang apa barusan?" Suaraku tergagap, memajukan tubuh ke arah Bia yang menatapku dengan santai.

"Kemarin, gue nembak Mas Alder terus nyium dia. Di tengah hujan." Nadanya datar, seakan dia hanya menceritakan kisah sehari-hari. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin aku salah dengar. Mungkin sebenarnya dia bilang, 'gue minum susu dan roti panggang tadi pagi.'

Jadi akupun tertawa, dan memukul lengannya hingga gadis itu memekik. Tapi aku masih tertawa, tawa yang bahkan di pendengaranku sendiri terasa hambar. "Gila, humor lu itu terkontaminasi sama delusi ya?"

"Terserah lu kalau gak percaya. Tapi kalau sampai Mas Alder nanyain gue ke elu pulang dari 'kencan' kami, berarti gue cukup mempengaruhi dia. Dan gue rasa, untuk saat ini itu cukup."

Aku terhenyak. Gadis ini tidak main-main, dan ketegasan dimatanya meneriakan keseriusan. Jadi bagaimana bisa berani-beraninya aku tidak nempercayainya? Aku menghembuskan nafas dengan keras, dan beringsut mendekatinya. "Lu serius, Bi? Kok bisa-bisanya lu ngelakuin itu? Lu gak ngerasa itu bakal ngerendahin harga diri lu?" Aku memegang tangannya dengan kedua tanganku, dan menatapnya di mata, menekankan kalau aku tengah serius. "Tapi jangan salah, gue gak sedang menghakimi lu. Tapi yang lu lakuin itu membutuhkan keberanian besar, meskipun itu bikin gue salut sama yang lu lakukan. Cuma, apa itu gak benar-benar mempengaruhi lu sesudahnya?"

"Ra, lu yang lebih ngerti Mas Alder. Lu yang paling tahu bahwa kadang dia susah dikeluarkan dari kepalanya kalau udah stuck ke satu hal--bahkan lu juga begitu--"

"Hei!"

"--dan menurut gue, gue bakal diam ditempat kalau gak ngelakuin sesuatu untuk ngeguncang dia dan ngeluarin dia dari zona amannya." Bia menarik nafasnya, penjelasannya--itu mengejutkan ku. "Demi Tuhan, dia berpikir untuk nikahi Rianti, Ra!" Lanjutnya, setitik air mata menggenang di ujung kelopaknya.

Aku memeluk sahabatku itu, akhirnya menyadari bahwa keputusan Mas Yozha untuk menikahi Rianti ternyata benar-benar mempengaruhinya. Aku merasa bersalah, tampaknya aku terlalu egois hingga tak sungguh-sungguh memperhatikan Bia selama ini. Seharusnya aku lebih dulu menyadari perubahannya.

Jadi, aku memeluk gadis itu lebih erat, dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Maafin gue ya, Bi, gue bebal banget sampai gak ngelihat kalau lu menderita selama ini. Seharusnya gue lebih sadar sama situasi lu."

Bia tertawa, itu sedikit menggelitik tapi aku tak melepas pelukanku. "Emang! Lu tuh seringnya emang bebal."

"Bi, please deh, lu gak bisa banget gue sayang-sayang tanpa nyengat." Berdecak, kali ini mengelusnya dengan kuat-kuat.

Bia masih tertawa, tapi dia melepaskan pelukanku darinya. Matanya memandangku, sisa tawa masih tercermin di wajahnya. "Gue serius, Ra. Kadang, lu cuma mau lihat apa yang lu mau dan lu mengabaikan fakta-fakta penting yang bahkan berserak di depan lu. Termasuk Pak Ditya."

"Pak Ditya? Kenapa dengan dia?" Mengernyit, suaraku terdengar gugup.

"Mau sampai kapan lu denial sama perasaan lu? Mau nunggu kisah lu sama kayak gue? Kalau lu gak cepat bergerak, dia gak bakal sadar, dan tahu-tahu lu bakal terlambat, Ra. Asal lu tahu, waktu gak selamanya berpihak sama kita, Rora."

Menggigit bibir, aku menunduk. Tahu bahwa semua yang dikatakan Bia benar, tahu bahwa selama ini aku selalu menghindar untuk sdar. Dan satu-satu kenangan tentang Pak Ditya bermunculan tanpa aku benar-benar mengijinkan. "Gue rasa--lu benar."

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang