VII

51.9K 3.1K 29
                                    

Aku membuka pintu kamar, dan menemukan Bia tengah membaca salah satu novelku dengan berbaring di atas tempat tidur. Melemparkan tas ke atas kaki tempat tidur, aku merebahkan tubuh di sebelah Bia sambil mengerang keras.

Bia menutup novelnya, dan memandangku dengan prihatin. "Capek banget kayaknya."

"Hu uh." Aku menatapnya, dan menyadari kalau gadis itu mengenakan kaos cowok kebesaran yang tak sesuai dengannya yang selalu tampil chic. "Kayaknya gue kenal itu baju."

Bia mengikuti arah pandangku, pada kaos yang dikenakannya, lalu tertawa kecil. "Oh ini? Baju gue tadi ketumpahan milkshake, terus Mas Alder minjemin kaosnya."

Aku duduk di sebelahnya, mulai melepaskan jepitan-jepitan kecil yang menghias rambutku. "Kenapa ga pakai baju gue aja? Kan lu tahu gue ga pernah keberatan kalau lu bongkar-bongkar lemari gue."

"Bukan masalah keberatan atau enggaknya, tapi baju lu mana ada yang muat di gue. Produk kids station gitu."

"Sialan lu." Aku melemparkan bantalku ke arah Bia, yang di hindarinya dengan sangat baik. Kemudian turun dari tempat tidur dan menuju lemari.

Bia adalah temanku sejak kami duduk di bangku kelas empat SD. Dulu, aku lebih tinggi darinya, dan aku selalu mengolok-oloknya karena itu. Tapi kemudian entah sejak kapan, tinggi Bia bertambah dengan pesat, sementara tinggi ku tampaknya berhenti secara tiba-tiba. Lalu, saat kami masuk kuliah, akhirnya aku sadar karma itu ada.

Bia melebihiku sekarang, badannya ramping, dan dia menjadi cantik. Sedangkan aku, dengan tinggi hanya 157 sentimeter, seringkali di anggap anak SMP. Terlebih lagi, karena banyak dari teman-temanku mengatakan wajahku tak mengalami perubahan dari sejak jaman SMP dulu. Walaupun itu terdengar sangat berlebihan, bahkan jika itu hanya untuk mengolok-olokku.

Meski begitu, yang mengesalkan adalah, anak SMP sekarang sialnya bertubuh bongsor!

"Ngomong-ngomong, Ra, lu ngapain nyuruh gue datang? Bentar lagi gue mau pulang nih, keburu kemalaman."

Aku yang tengah membuka lemari baju, mengerutkan kening padanya. "Siapa yang bilang lu boleh pulang? Gue nyuruh lu datang, buat nginep. Biar ada yang bangunin gue besok pagi." Mengambil satu kaos dan celana pendek, aku menyambar handukku juga.

"Ha?! Absurd banget sih lu!" Bia menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidurku, mengambil novel dan hendak membacanya lagi.

"Seriusan gue, besok gue harus udah di kampus jam delapan." Ujarku, membuka pintu kamar.

Bia menatapku bingung. "Ngapain? Mata kuliah pajakkan mulainya jam sepuluh." Maga gadis itu kemudian membulat, seakan-akan teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong, urusan lu sama Pak Ditya udah bereskan? Lu bisa ikut mata kuliahnya kan?" Tambahnya.

Aku menghela nafas pelan, mengedikan bahu padanya. "Makanya gue harus udah di kampus jam delapan, ini ada hubungannya sama dosen satu itu."

"Maksudnya?"

"Nanti gue ceritain, gue mau mandi dulu. Pokoknya lu harus nginep!" Ujarku, dan keluar dari kamar menuju kamar mandi, tak menunggu jawaban dari Bia.

***

"HAH?! ASISTEN DOSEN?!" Bia terduduk di sebelahku, meskipun hanya dengan cahaya redup dari lampu tidur, aku bisa melihat matanya yang melotot.

"Sstttt!!!" Meletakan jari telunjuk di depan bibir, aku menyuruh Bia diam. "Udah malam, Bi! Lu teriak-teriak gitu mau bangunin seluruh penghuni rumah?!" Ujarku.

Bia sekarang duduk bersila, matanya terbuka lebar padahal beberapa menit yang lalu dia sudah nyaris tertidur saat aku menceritakan tentang kedatanganku ke kantor Pak Ditya jumat kemarin. "Ya lagian lu, Ra, ga masuk akal banget! Masih semester lima, nilai juga bukan perfect-perfect banget malah ngajuin jadi asdos. Terus Pak Ditya setuju?"

Aku berdecak, sekarang ikut-ikutan Bia duduk bersila. "Bukan asdos yang itu! Sama aja nih kalian. Dia juga awalnya ngira gitu, terus gue di tolak mentah-mentah, malah sampai dibilang ga berkualifikasi."

"Ya lu bilangnya asdos, apa lagi kalau bukan ngebantuin dia buat ngajar?"

"Maksud gue, jadi asistennya dia." Ujarku pelan-pelan, seakan butuh usaha untuk membuat Bia mengerti. "Kayak ngoreksi ujian anak semester bawah, atau ngecekin karya tulis mereka, atau masukin nilai ke database. Kayak gitu-gitu. Bukannya bantuin ngajar."

Bia mengangguk-angguk, tampaknya mulai paham. "Ya lagian, lu rancu banget bilangnya jadi asisten dosen." Ucapnya, masih merasa aku patut disalahkan karena kata-kataku. "Terus, dia setuju?"

Aku meraih bantalku, dan memeluknya, rasa-rasanya mulai mengantuk. "Awalnya sih enggak, terus gue yakinin aja kalau itu bisa meringankan pekerjaan dia, dan menghindari pemotongan poin gue. Jadi win win solution gitu."

"Terus?" Sambar Bia, mulai penasaran.

Aku menghela nafas, dan kembali berbaring. "Ya pokoknya sempat berdebat dulu, tapi akhirnya dia setuju, dengan syarat gue menandatangani perjanjian gitu deh. Di atas materai pula, parno abis tuh orang." Ingatku, ketika pak Ditya mencetak sebuah surat kesepakatan dan menyuruhku membubuhkan tanda tangan di atas materai kalau semua yang terjadi tidak berada di bawah paksaan.

***

"Tanda tangan di sini." Pak Ditya menunjuk satu titik di atas materai, kemudian memberikan aku sebuah bolpoin.

"Maaf pak, ini apa ya?" Ucapku ragu, terpaku pada kertas yang ditunjuk dengan judul tercetak dalam huruf kapital. 'SURAT PERJANJIAN'

"Dokumen resmi yang menjamin perlindungan untuk pekerjaan saya, dan status kamu sebagai mahasiswa."

Mataku beralih pada dosen di depanku, ekspresinya masih tak berubah, datar. Sekilas yang kubaca dari surat itu termasuk tentang tak ada sangkut pautnya dia terhadap tingkah lakuku, dan bahwa kami sama sekali tak punya hubungan apapun. Pada detik itu, kupikir dosen di depanku ini punya tingkat imajinasi yang terlampau tinggi. Sebuah hubungan? Antara dia dan aku?! Bagaimana dia bisa berpikir kesana? Aku saja tidak kepikiran. Rasanya mau ketuk kayu saja biar terhindar dari nasib jelek.

"Kenapa? Ada poin yang tidak kamu setujui?" Ucapnya, memandangku balik.

Aku tersenyum kaku, dan menggeleng. "Tidak kok pak," ujarku kemudian cepat-cepat menandatangani surat perjanjian itu. Lagipula tidak ada ruginya untukku.

Dosen aneh itu kemudian memberikanku satu salinan, sementara lembar lainnya disimpannya di dalam sebuah map. Lalu dia kembali menatapku. "Kalau begitu, kamu bisa datang ke kantor saya senin nanti jam delapan. Ada ulangan mahasiswa yang bisa kamu koreksi."

Aku mengangguk pelan, senyum kaku masih belum hilang dari wajahku. Aku menyadari kalau dia aneh, tapi tidak menyangka kalau ternyata seaneh ini!

***

"Jadi besok lu harus udah di kampus jam delapan?"

"Hah?!" Tersentak dari lamunan, aku baru sadar kalau Bia berbicara denganku, meskipun sebagian dari kata-katanya tidak benar-benar kudengarkan. "Oh iya. Besok gue harus bantuin si dosen aneh itu ngoreksi kuis atau apalah punya mahasiswa baru."

Bia mengangguk, kemudian kembali berbaring di sebelahku. Dia menutup tubuhnya dengan selimut, kemudian menutup mata. "Kalau gitu kita harus cepat tidur biar besok bisa bangun pagi." Ujarnya, padahal sedetik yang lalu dia masih kelihatan terlalu bersemangat untuk mulai tidur.

Aku menghela nafas, membayangkan besok rasanya berat. Tapi aku berharap, semoga tidak seburuk yang aku imajinasikan. Akupun memejamkan mata, dan mengucapkan selamat malam kepada Bia. Sementara gadis itu hanya membalas dengan gumaman tak jelas, mungkin dia sudah tertidur.

Dan malam itu, aku tidak benar-benar tidur nyenyak. Karena mimpiku buruk, melibatkan Pak Ditya, karya tulis, dan penggaris kayu.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang