"Apa-apaan itu rambut?" Bia dan mulutnya yang tajam berkomentar di sampingku. Sementara tangannya merapikan alat tulisnya, kewirausahaan baru saja selesai.
"Aneh?" Tanyaku tak yakin. Memainkan ikal rambut yang kubuat sejak subuh buta tadi.
"Jangan bilang lu niru mantannya Pak Ditya!" Ujar Bia curiga, dan itu membuatku ingat pecakapanku dengan pria itu kemarin.
"Eh soal itu Bi, ternyata itu pacarnya Pak Ditya yang udah meninggal." Aku menggeser dudukku berhadapan dengan Bia. "Udah empat tahun meninggalnya. Mungkin gara-gara itu dia jadi manusia dingin kayak gitu. Kan katanya hidup manusia tanpa cinta bagai taman tak berbunga."
Bia langsung memandangku dengan pandangan yang mengatakan: 'Lu nemu kata-kata norak itu dari mana?!' yang membuatku menyeringai dan mengedikan bahu. "Terus, lu sekarang mau jadi imitasi pacarnya gitu?" Ujar Bia sarkas. Dan aku hanya memandangnya dengan sadis sebagai jawaban.
"Mawar." Mendongak, kulihat Eva menghampiri. Tanpa Revan, dan wajahnya tampak cemas.
"Hei Ev, Revan mana?" Tanyaku masih celingukan mencari pemuda itu.
"Bisa bicara sebentar? Berdua aja?" Eva kelihatan gelisah, dan itu membuatku menjadi khawatir.
Tapi aku mengangguk, berdiri dan mengikutinya keluar kelas. Meninggalkan Bia yang bertanya tanpa suara.
Eva membawaku ke sebuah ruang kosong, kemudian dia berbalik menghadapku, wajahnya serius. "Eva langsung ke intinya aja ya, Mawar." Gadis itu berdiri gelisah, meremas-remas tangannya. "Mawar suka sama Pak Ditya? Berencana ngedeketin Pak Ditya?"
"Ha?" Aku menelan ludah. Dari awal aku memang ingin memberitahu Eva, tapi aku masih mencari waktu yang tepat. Kalau ditembak langsung kayak gini, bikin keki juga. "Kenapa memangnya Va?"
Eva tiba-tiba meraih tanganku, dan mencengkramnya dengan kedua tangan. "Jangan! Mawar gak boleh suka sama Pak Ditya. Mawar kan udah punya Revan. Please, Mawar jangan sama Pak Ditya ya." Mata Eva memohon, dan itu membuatku mundur selangkah. Bingung. "Mawar janji sama Eva, ya. Jangan sama Pak Ditya, sama Revan aja."
"Tu--tunggu dulu Va, kenapa harus sama Revan? Belum tentu dia suka sama gue." Ujarku gugup, tidak tahu lagi harus bilang apa.
Senyum Eva tipis, tapi kegundahan itu masih di matanya. "Revan suka sama Mawar, Mawarnya aja yang gak sadar-sadar. Jadi kasih kesempatan sama dia ya, Mawar. Lupain Pak Ditya." Suaranya pelan, tapi begitu jelas di telingaku. Eva benar-benar menyukai Pak Ditya.
"Eva, tenang aja. Gue--gak suka sama Pak Ditya, kok." Dan aku benar-benar penipu besar!
***
"Gue gak tahu harus gimana sama Eva. Gue jadi ngerasa bersalah beneran." Aku mengaduk-aduk jus jerukku.
Di depanku, Bia memperhatikan sepasang kekasih yang duduk tak jauh dari kami. Apa yang mereka bicarakan tak begitu jelas tertangkap, tapi Bia bahkan nyaris melotot saking fokusnya. "Ya kalau gitu kenapa lu bohong?"
"Ya masa gue jujur setelah dia mohon-mohon ke gue supaya gak deketin Pak Ditya!" Seruku, yang di balas dengan lemparan bungkus sumpit dari Bia.
"Bisa dikecilin gak suaranya?! Kalau ketahuan bisa gawat kita!"
Aku menghela nafas, melirik pasangan yang diperhatikan Bia. Itu adalah kakakku dan pacarnya. Seperti rencana kami semula, aku dan Bia mengikuti mereka untuk tahu apa yang terjadi. Tapi sejauh ini, Rianti tampak tenang-tenang saja. Entah itu karena kakakku yang bebal dan ini hanya sebuah kencan biasa, atau dia memang belum mengatakan apapun.
"Kira-kira mereka ngomongin apa ya?" Tanya Bia penasaran. Dia menyembunyikan wajahnya di balik menu, tapi matanya masih fokus memperhatikan Mas Yozha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomantizmHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...