XXIII

31.5K 2.4K 20
                                    

"Sampai kapan Mas Alder mau nyogok gue pake cheesecake?" Bia melipat sebelah kakinya di kursi meja makan, sibuk mengunyah cheesecake. Ini sudah piring ke duanya. Melihatnya saja aku mual.

Aku tak suka keju!

"Sampai lu maafin dia kali." Jawabku, membuka lemari pendingin, dan mengeluarkan sekotak susu. Membawanya ke meja bersama gelas, kemudian duduk di depan Bia. Menuangkan susu cokelat dari kotak, dan meminumnya.

Bia melepaskan sumpit di kepalanya, dan kembali menggulung rambutnya ke atas. Menahannya lagi dengan sumpit, tapi tetap saja beberapa helaiannya lolos dan jatuh ketengkuknya yang panjang. "Gue udah bilang, gue gak marah."

"Ya,... Ya,... Ya,... Terserah lu."

"Jadi kita hari ini mau ngapain?" Kembali mengunyah cheesecake-nya, Bia kemudian menatapku.

Hari ini, Mama dan Papa pergi ke luar kota, dan Mas Yozha sudah pergi sejak pagi. Wajar, ini hari minggu tak ada orang yang mau menghabiskan  liburan mereka di rumah, kecuali aku. Aku terlalu mencintai runahku. Jadi, aku meminta Bia datang menemani.

Jam sebelas dia sampai, dengan mengenakan kaos putih tipis dua nomor lebih besar dan hot pants denim, aku nyaris berpikir dia ingin mencoba menggoda seseorang. Kalau tidak ingat kepribadiannya, jadi pasti dia hanya ingin terlihat santai saja. Lagipula, siapa yang mau digodanya?

"Di rumah aja, gue malas ngapa-ngapain." Ujarku, kembali menenggak susu. "Lu lapar, Bi? Kita bisa pesan makanan. Gue eneg ngeliat lu makanin itu kue. Ini udah piring ke dua!" Dahiku mengernyit saat Bia memasukan potongan terakhir cheesecake-nya.

"Gue malah mau lanjut ke piring ke tiga. Tapi boleh, kita pesan pizza aja." Usulnya, meraih gelasku dan meminum susu milikku. "Ngomong-ngomong, kapan Mas Alder pulang?" Bia membawa piring-piringnya ke wastafel.

"Kenapa? Lu mau siap-siap pergi kalau dia pulang?" Meraih ponselku di atas meja, aku menghubungi nomor delivery pizza. "Lu mau rasa apa?"

"Smoked beef sama salad." Ujarnya, meraih gelas dan meracik sirupnya sendiri. "Kalau dia pulang, gue ga akan pergi. Justru mau bilang makasih, soal cheesecake-nya."

Aku mengangguk, tapi tak mengatakan apapun, sibuk memesan pizza kami.

***

Aku dan Bia sedang menonton film saat bel rumahku berbunyi, melirik jam aku tahu kalau yang datang itu pengantar pizza. Bia bangkit dari duduknya, dan meletakan popcorn di tangannya. Aku menekan tombol pause pada remote, sementara Bia menuju pintu.

Tapi tak berapa lama, Bia masuk, nyaris terseret oleh Mas Yozha yang menariknya dengan marah. Di belakang mereka ada Rianti, pacar Mas Yozha. Aku menatap mereka dengan bingung, sementara wajah Rianti datar.

"Kamu tunggu di sini." Perintah Mas Yozha, dan kembali ke pintu.

Aku menghampiri Bia yang mengusap pergelangan tangannya. "Kenapa?" Bisikku.

Ekspresi Bia tak tertebak, tapi dia mengedikan bahu. Lalu Mas Yozha kembali masuk, meletakan dua kotak pizza dan seplastik pesanan lainnya ke atas meja. Wajahnya jelas-jelas marah.

"Cepat kamu masuk ke kamar, dan ganti baju kamu. Kalau baju Dria kekecilan, pakai baju Mas. Sekarang." Ujar Mas Yozha, menunjuk arah kamar. Matanya memandang Bia dengan berapi-api. Nada suaranya tak terbantah.

"Kenapa?"

"Seharusnya Mas yang tanya, kenapa kamu keluar dengan baju kayak gini?!"

"Apa yang salah dengan bajuku?"

"Yozha, Yozha, tenang. Kenapa kamu jadi marah-marah kayak gini? Gak ada yang salah sama baju dia. Aku juga biasa pakai baju seperti itu, dan kamu baik-baik aja. Jadi kenapa kamu mempermasalahkan ini?" Rianti meletakan satu tangannya di pipi Mas Yozha, memaksanya menatap perempuan itu. "Yozha, lihat aku, Hon."

Tapi Mas Yozha masih menatap Bia dengan marah, menggertakan giginya, kakakku itu kemudian pergi menuju kamarnya.

Rianti menghela nafas, berbalik menatap kami dia kemudian memaksakan senyum. Sejak kejadian di Mall, aku tidak bisa benar-benar menyukainya sekarang. "Maaf ya, biasanya dia gak kayak gitu. Biar aku bicara sama dia." Ucap perempuan itu pada Bia yang hanya membalasnya datar. "Oh, dan ini." Rianti mengulurkan kotak kue kepadaku. "Yozha bilang adiknya suka cheesecake, jadi aku beliin ini buat kamu, Dria. Ini dari toko kue langgananku, di jamin pasti enak." Tambahnya.

Aku memandangnya skeptis, tapi menerima kotak kue itu. Semetara Bia berdiri di sebelahku masih terpaku, memandang Rianti datar padahal biasanya dia tidak begitu. "Yang suka cheesecake bukan aku, tapi Bia." Jelasku, meletakan cheesecake itu di atas meja terdekat dariku berdiri.

"Bia?" Rianti memandangku tak mengerti, jadi aku menunjuk Bia di sebelahku. Aku lupa mereka belum pernah bertemu. "Aku tak tahu kalau Yozha punya dua adik." Tertawa datar, Rianti menatap Bia dengan meneliti. "Kau siapa? Sepupunya?"

Tinggi Rianti dan Bia hampir sama, tapi Bia menaikan dagunya, dan itu membuatnya tampak lebih menjulang. "Adik? Aku bukan adiknya." Bia mendengus, kurasa dia sama tak sukanya dengan Rianti sepertiku. "Tapi aku teman masa kecilnya. Nabilla. Jadi tolong jangan memanggilku Bia, itu hanya untuk orang-orang terdekat."

Rianti menggertakan giginya, dan aku mengulum senyum. Aku tak menyangka Bia akan semarah ini, tapi aku mengerti. Kalau mengingat apa yang kami lihat di Mall waktu itu, Rianti pantas diperlakukan seperti ini.

Lalu Mas Yozha kembali, dengan sebuah kaos dan celana jins di tangan, dia mengulurkannya kepada Bia. "Ganti baju kamu sekarang." Tekannya, menatap Bia dengan tajam.

"Mas belum ngasih tahu alasannya. Aku tak merasa pakaianku salah, jadi kenapa aku harus menggantinya?"

Nafas Mas Yozha terdengar berat, tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Bia. "Ganti. Baju. Kamu. Sekarang."

"Sayang," Rianti menempel pada Mas Yozha, mengusap dadanya perlahan. Matanya memandang Bia dengan senyum sinis, aku semakin tak menyukainya. Bukan hanya karena memandang Bia dengan permusuhan seperti itu, tapi pertunjukan kemesraan yang tanpa tendeng aling-aling darinya ini membuatku muak. "Kenapa kamu harus peduli dengannya? Kalau dia tak mau, biarkan saja. Lagipula dia cuma temannya Dria kan? Gak ada urusannya sama kita."

Mas Yozha menarik nafas, memejamkan matanya sesaat, ketika dia membukanya kembali tatapannya pada Bia melembut. "Dia adikku, Rianti. Jadi aku tidak akan membiarkan orang lain memiliki alasan untuk tidak menghormatinya."

"Mas!" Seruku, tak suka dengan pemilihan katanya. Memang apa yang dilakukan Bia sampai orang lain harus tak menghormatinya.

Dengan menggertakan gigi, Bia mengambil baju yang di ulurkan Mas Yozha, nyaris terlihat merampasnya. "Terimakasih atas kepedulianmu, Mas Alder. Tapi aku tak butuh, karena aku bukan adikmu!" Ujar Bia ketus, sebelum berbalik dan menaiki tangga. Mungkin menuju kamarku.

Aku memandang Rianti dan Mas Yozha untuk terakhir kalinya, senyumku sinis. "Sebelum mengurus Bia, sebaiknya Mas ngurusin pacar Mas dulu. Aku belum bilang Mama, tapi pertengkaran di depan umum, itu bukan gaya keluarga kita, Mas." Lalu aku pergi mengejar Bia.

Kali ini, kupikir tak akan bisa diselesaikan hanya dengan cheesecake.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang