XXXVII

28.8K 2.2K 71
                                    

Aku datang nyaris terlambat hari ini, setelah buru-buru menyiram mawar di ruangan Pak Ditya--dan bersyukur karena pria itu tak ada di sana--secepat mungkin aku menuju kelas sistem informasi akuntansi. Memilih duduk di belakang, hanya karena aku tak terlalu bersemangat untuk belajar. Eva dan Bia melirikku, tapi mereka tak sempat mengatakan apapun, karena dosen kami terlanjur masuk ke kelas. Kemudian, aku mengubur kepalaku dengan lengan di atas meja.

Waktu berlalu, dan mata kuliahku akhirnya usai. Tapi tak satupun pelajaran itu masuk kekepalaku. Aku hanya bisa berharap IPK ku tidak turun semester ini. Bagaimana bisa hanya karena laki-laki membuatku kacau? Ini bukan aku banget!

"Ra, lu gak apa-apa? Kusut banget gitu sih? Masih kepikiran yang kemarin?" Bia menghampiri, duduk di sampingku.

"Lebih parah dari kemarin." Ujarku, dengan nada merana.

Tak berapa lama kemudian, Eva datang. Tak bicara apapun padaku, dan mulai menyisir rambutku. Sedikit banyaknya, aku merasa bersalah padanya. Bahkan aku belum mengakui perasaanku kepada Pak Ditya padanya. Rasanya itu tak adil.

"Lebih parah gimana? Tadi lu ketemu lagi sama dia?" Terpujilah Bia yang tak menyebut nama Pak Ditya. Dia memang sekutu sejatiku!

"Bukan, nyokap gue mau ngejodohin gue."

"HAH?!" Bia.

"Ngejodohin?" Eva--menarik sedikit rambutku hingga aku memekik sebelum mengendurkannya. "Maaf... Maaf..." Ujarnya buru-buru.

"Siapa yang mau di jodohin?!" Revan, yang tiba-tiba saja bergabung, menatapku dengan curiga.

Aku menghela nafas, menatap Bia dan Revan--tak bisa menatap Eva karena dia sibuk dengan rambutku di belakang--dengan merana. "Sama anak temannya, Tante Anita, lu ingat kan Bi?" Aku menoleh pada Bia, yang mengangguk.

"Dia pernah datang kerumah lu bukan, Ra? Jemput nyokapnya?"

Aku mengangguk, merasakan Eva mengingkat rambut panjangku menjadi satu di belakang kepalaku. Kemudian dia berputar, duduk di sisiku satunya. "Makasih, Ev." Gumamku tak bersemangat.

"Terus lu bilang apa ke nyokap lu?" Revan, menarik bangku dan duduk di depanku. Matanya memandangku tajam.

"Ya gue tolaklah. Tapi emang gue bisa apa? Nyokap gue gak nerima penolakan, gue malah disuruh nemuin tuh cowok hari sabtu ini."

"Kenapa tiba-tiba nyokap lu mau ngejodohin, lu?"

"Teman nyokap gue suaminya sakit-sakitan, terus pengen ngeliat anaknya nikah sebelum dia meninggal. Terus, nyokap gue ngumpanin gue. Ya gue bisa apa, Van."

"Biar gue yang ngomong sama nyokap lu." Mata Revan menunjukkan ketegasan, meskipun begitu itu tak membuatku merasa lebih baik.

"Mau bilang apa?" Ujarku pasrah.

"Bilang kalau gue mau ngelamar lu."

Dan aku tertawa, tawa yang terasa sangat hambar. "Eva sampai bergidik tuh, Van. Serius sedikitlah."

"Gue serius."

"Terus lu tiba-tiba bilang gitu ke nyokap gue, gue harus jelasin apa? Gue hamil anak lu, dan gue gak bisa hidup tanpa lu?"

"Itu juga boleh."

Kulempar kepalanya dengan pulpen. Sungguh-sungguh merasa kesal. Disaat aku sedang sangat butuh solusi seperti ini, bisa-bisanya dia main-main.

"Udah-udah." Bia menengahi, berdiri diantara aku dan Revan. "Gini aja, Ra. Kalau lu gak bisa ngebuat nyokap lu berubah pikiran, coba aja ngebuat calon lu berubah pikiran. Mungkin berhasil." Ujarnya.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang