"Gue gak ngerti apa yang ada di pikiran Pak Ditya, gimana dia bisa bohong kayak gitu di depan komite disiplin?" Aku duduk di depan Sunshine, berbicara pada model kerangka itu. Entah sejak kapan ini menjadi kebiasaan. Tapi kali ini, aku menutup pintu ruangan Pak Ditya rapat-rapat, setelah kejadian bersama komite aku tidak mau mengambil resiko.
Kupeluk kedua lututku, menatap Sunshine dengan banyak hal yang berkecamuk di pikiranku sekaligus. Pak Ditya belum juga kembali, dia masih terjebak di ruangan komite disiplin dan aku penasaran apa yang mereka bicarakan. Terakhir kali sebelum aku disuruh keluar, komite menjatuhi hukuman potong gaji selama tiga bulan pada Pak Ditya. Dan kesemuaan itu salahku.
"Apa yang harus gue lakukan, Sunshine? Gue gak bisa ngebiarin Pak Ditya yang nanggung semuanya." Aku menarik nafas panjang. Menjatuhkan tubuhku di atas lantai dan memandang langit-langit dengan menerawang. Bertanya-tanya bagaimana semua ini terjadi. Rasanya hal yang menimpaku ini terlalu berurutan.
Aku ingat mata Eva ketika meninggalkanku tadi. Aku juga ingat mata Revan ketika begitu marah kemarin. Semua itu hanya karena masalah ini. Apa salah jika aku menyukai Pak Ditya? Apa salah jika aku berharap bisa bersama dengannya? Persahabatan ku hancur karena ini, tapi kurasa aku tak bisa lagi mundur.
Kalau gue gak bisa mundur, berarti gue harus bergerak maju. Lagian, gue juga gak bisa nikah sama orang yang gue ga suka. Kenal aja enggak, apalagi suka! Hhh,... Apa bisa, gue berharap sama Pak Ditya?
Aku menutup mataku dengan sebelah tangan, menghela nafas.
"Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Tersentak, aku membuka mata dan menatap wajah Pak Ditya di atasku. Pria itu juga terkejut, dan buru-buru menutup pintu di belakangnya. Perlahan aku bangun, dan berdiri. Membersihkan celana jeansku dari debu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Ulang Pak Ditya, namun kali ini tak lagi terdengar terkejut. Hanya saja kurasa dia marah, pria itu berdiri di depanku dengan menyilangkan tangan di dada. Pandangannya menuntut jawaban.
Aku menunduk, meremas kedua jemariku dengan gugup. "Saya mau minta maaf, Pak. Gara-gara saya, bapak harus di hukum, dan gara-gara saya juga bapak jadi harus bohong ke komite." Ujarku pelan.
Sejenak Pak Ditya tak mengatakan apapun, tapi kemudian dia menghela nafasnya dan melangkah menuju meja kerja. Aku mengikuti gerakannya dengan ekor mataku, masih tak berani menatap pria itu. "Tidak apa-apa, itu salah saya."
Aku mengangkat kepala, memberanikan diri memandangnya. "Seharusnya bapak tidak perlu berbohong hanya untuk menyelamatkan saya, bagaimana kalau komite tahu? Takutnya semuanya nanti akan semakin parah." Termasuk hati gue yang sampai sekarang gak bisa kalem!
Pak Ditya memandangku, matanya menyiratkan kebingungan yang nyata. "Berbohong?"
Aku mengerjap beberapa kali, masa iya dia lupa kalau tadi dia bilang aku ini tunangannya? Beredehem untuk membersihkan tenggorokan, rasa gugup ku makin menjadi-jadi. "Um, soal tunangan pak." Ujarku pelan, malu.
"Oh." Pak Ditya mengangguk, mungkin sudah sadar. "Ya, seharusnya saya tidak berbohong seperti itu. Kalau sudah begini, saya harus ketemu orang tua kamu secepatnya."
"Hah?! Untuk apa, Pak?!"
Pak Ditya menatapku bingung. Tapi aku jauh merasa lebih bingung dari dia! "Ya untuk memperkenalkan diri ke orang tua kamu."
Kakiku lemas! Aku maju, manarik bangku dan duduk di atasnya. Pria ini benar-benar pintar mempermainkan perasaanku! "Tapi untuk apa, Pak?" Aku menelan ludah, makin meremas tanganku. "Bapak kan sudah menolak saya."
Mengernyitkan dahinya, Pak Ditya ikut duduk di depanku. Kedua tangannya terjalin di atas meja. "Menolak? Menolak kamu apa?"
"Waktu saya bilang soal perasaan saya!" Ujarku tak sabar. Mau sampai kapan pria ini mendorongku dan membuatku semakin merasa malu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...