XX

32.9K 2.3K 32
                                    

"Jadi maksud lu, lu diancam bakal di laporin ke komisi disiplin, Ra?" Bia nyaris menabrak pagar rumahku karena salah menginjak rem.

Aku mencengkram sabuk pengaman dengan jantung berdebar, menoleh pada Bia dengan wajah horor. "Lu berniat ngebunuh gue, Bia?"

"Sorry... Sorry... Gue salah nginjek tadi." Senyum Bia ragu-ragu, merasa bersalah.

Aku mengatur nafas, kemudian membuka sabuk pengamanku. "Bukan diancam, lebih tepatnya dikasih peringatan kayaknya. Tapi akhirnya dia cuma motong poin gue dua puluh persen. Sumpah, gue nyesel masuk ruangan dia tadi pagi."

"Lagian lu berani banget sih Ra, mau ada dosen atau enggak, seharusnya lu jangan seceroboh itu."

"Tadinya niat gue cuma mau naro makalah itu terus keluar, tapi habis itu gue ngeliat Pak Ditya tidur." Bayangan Pak Ditya tadi pagi masuk ke dalam pikiranku secara otomatis, dan aku memejamkan mataku, menarik nafas sebelum membukanya dan menatap Bia. "Gue ngerti sekarang kenapa Eva bisa suka sama dia. Kalau lagi tidur dan ga marah-marah, dia cakep Bi. Kayak anak kecil, polos gitu." Ujarku berapi-api.

"Soal Eve, lu yakin dia suka sama Pak Ditya."

Aku mengangguk, apalagi kalau mengingat bagaimana reaksinya saat tadi aku mengeluh soal Pak Ditya. "Absolutely yes!"

"Hum,..." Bia mengangguk-ngangguk, mengetuk-ngetuk jarinya pada kemudi tampak berpikir.

Aku membuka pintu, dan melirik Bia yang masih larut dalam pikirannya. "Lu gak turun Bi?"

"Ha?" Menoleh padaku, dia menggeleng. "Enggak deh."

"Mas Yozha nitipin cheesecake buat lu lho."

"Oh ya?" Bia tampak bersemangat, tapi kemudian dia malah mengerucutkan bibirnya. "Terus, Mas Alder ada di rumah?"

Aku menaikan alisku. "Kalau ada, lu gak mau mampir?" Bia mengangguk, dan aku menghela nafas. "Mas Yozha gak ada, ikut Papa ke proyek baru pulang malam paling." Jelasku.

Bia kemudian tersenyum. "Kalau gitu gue turun deh, sayang kan cheesecake-nya kalau gak dimakan. Mubazir! Kata orang tua gak boleh buang-buang makanan." Dan diapun turun dari mobilnya.

Aku memutar mataku, dan mengikuti Bia. "Lu mau marah sampai kapan ke Mas Yozha sih, Bi?"

Bia mengedikan bahunya, kemudian berhenti tepat di depan pintu. Di depannya ada Mama dan Tante Anita yang tampaknya ingin keluar.

"Lho, Roza baru pulang?" Ucap Tante Anita.

Aku tersenyum dan menyalaminya, begitu juga Bia di sebelahku.

"Ini siapa? Ya ampun, cantik amat." Ujar Tante Anita kepada Bia sambil tersenyum.

"Anakku yang satu lagi, Jeng." Ujar Mama, mengusap lengan Bia. "Nabilla." Tambahnya, memperkenalkan.

Bia tersenyum, dan tante Anita tak henti-hentinya mengatakan kalau dia cantik. Aku memutar mataku, pasti setelah ini Bia akan pamer-pamer padaku terus-menerus. Kemudian, tak berapa lama Tante Anita pun pamit pulang saat sebuah mobil menjemputnya di depan pagar.

"Itu anak Tante Anita, Ma? Bukannya dia masih SMA ya?" Aku memiring-miringkan kepalaku berusaha melihat sang pengemudi lebih jelas sebelum dia membawa mobilnya menjauh.

"Siapa? Andra? Dia udah kuliah, ngaco kamu!" Mama berbalik, dan masuk ke rumah. "Nabilla nginap kan? Papa Dria pulang malam nih, Tante kesepian. Lagian Yozha beliin cheesecake terus, gak ada yang makan. Katanya buat kamu." Tambah Mama.

Bia mengikutinya di belakang Mama. "Enggak kayaknya, Tante."

Mama melirik Bia, dan mengangguk mengerti. "Tapi sebelum pulang, kamu makan dulu ya. Sama cheesecake-nya juga, soalnya Dria ga suka, Tante bosan makannya."

"Iya Tante, tenang aja." Bia tersenyum, senyumnya bahkan lebar banget.

Aku menyikutnya pelan. "Giliran dikasih cheesecake aja, lu seneng banget kayak gini!"

***

"Gak tau kenapa, gue jadi gak terlalu simpatik sama Bu Layla deh." Mengunyah keripik kentang, aku mengganti saluran televisi.

"Kenapa? Dia kan baik, anak-anak pada suka kok sama dia." Memakan cheesecake-nya, Bia duduk bersila di sampingku. "Eh itu aja, Ra. Episode kemarin kelewat soalnya."

Aku kembali memilih sebuah film detektif yang sempat terlewat tadi, kemudian meletakan remote televisiku. "Habisnya belakangan gue ngerasa kayaknya dia sinis banget deh. Waktu itu gue ngerti, mungkin karena dia malu udah di cuekin sama Pak Ditya di depan gue. Tapi tadi pagi kenapa sampai mau ngelaporin gue ke komisi disiplin? Kan gue gak ngerugiin dia." Mengunyah keripik kentang dengan ganas, seakan-akan aku membayangkan Bu Layla yang tengah ku kunyah.

"Wajar sih, Ra. Lu kan emang salah tadi pagi. Walaupun bukan dia yang dirugikan, tapi dia kan dosen. Lu mahasiswa. Hirarki sosial."

"Masih gak ngerti."

"Ya dia belain rekan sesama dosennya."

"Lha, tapi kan Pak Ditya gak minta dibelain." Aku menoleh kepada Bia, menatapnya dengan keberatan.

"Bukan masalah minta dibelain, tapi--"

"Kei..." Mas Yozha, meletakan tasnya di sofa dia tersenyum pada Bia. "Kok baru datang? Kemana aja?"

Bia kayak maling kepergok, wajahnya pucat. Meletakan piring cheesecake-nya, gadis itu menggigit bibir lalu menatap ke arahku. Matanya seakan ingin membunuh, tapi bibirnya menguntai kata. "Lu bilang Mas Alder pulang malam!" Serunya dengan suara berbisik.

Aku mengedikan bahuku, sama herannya dengan Bia. Papa saja belum pulang, kenapa Mas Yozha sudah pulang duluan.

"Mau ngambil gambar rancangan di kamar, ini juga mau pergi lagi kok, Kei." Mas Yozha menghela nafas. "Kamu masih marah emang sama, Mas?"

Perlahan, Bia menoleh kearah Mas Yozha menaikan kedua kakinya ke atas sofa dan memeluknya. "Dibilang aku gak marah." Ujarnya, ngedumel.

Aku memutar mataku, siapapun yang melihat Bia sekarang pasti akan menganggap dia marah sama Mas Yozha. Memakan keripik kentang, aku kemudian mengganti saluran televisi ke acara musik.

"Ya udah, take your time." Dari ujung mata, aku melihat Mas Yozha mengangkat tangannya, hampir menyentuh kepala Bia tapi seakan tersadar dia menjauhkannya lagi. Untung aja, kalau gak Bia bisa semakin marah, dari yang terakhir aja Bia masih misuh-misuh kayak gini. "Cheesecake-nya dihabiskan ya, sayang udah Mas beliin." Dan Mas Yozha pun pergi.

Bia menghela nafas, mengerang dan kemudian menyembunyikan wajahnya dibalik lutut. "Gak peka banget sih!" Bisiknya, kembali menghela nafas.

"Kenapa lagi? Mas Yozha tadi ga jadi nyentuh kepala lu lho, Bi. Udah sadar tuh dia kalau dia salah. Maafin aja kenapa."

Bia mengangkat kepalanya, dan mendelik kepadaku. "Hhh! Gara-gara lu juga sih, Ra!" Serunya kemudian bangkit meraih piring cheesecake-nya dan menuju dapur.

Aku menatap punggungnya dengan bingung. Apalagi salahku kali ini? Dia marah karena aku membela Mas Yozha? "Kok jadi gue yang salah sih, Bi?!" Ujarku, namun punggung Bia sudah menghilang di balik tembok.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang