XXXVIII

30.1K 2.4K 213
                                    

Aku memasuki kelas dengan penuh kepercayaan diri, kepalaku terangkat bersikap congkak. Melewati Bia dan Eva yang menatapku tanpa berkedip, aku tersenyum, itu efek yang kucari. Aku memilih duduk di depan, tepat di sebelah Bia. Sekarang ini, mari ucapkan selamat tinggal pada bangku-bangku di belakang.

"Lu siapa? Masih Rora kan?" Bia memutar tubunya, menatapku dengan seksama. Matanya meneriakan keterkejutan.

Aku tersenyum dengan jumawa, dan mengangguk singkat. "Iya, Bia, jangan khawatir saya masih Roza."

Bia memandangku jengah, tapi aku tak peduli dan mulai membuka tasku.

"Woaaa... Lu kenapa, War?" Revan, yang baru datang meletakan tasnya dan mengambil tempat di sebelahku. Menatapku sama terkejutnya seperti Eva dan Bia.

"Hanya mencoba menjadi lebih dewasa."

"Apa ini gara-gara pembicaraan kita kemarin, Ra? Lu mempresentasikan saran gue dengan cara ini?"

"Mawar, rambut Mawar ini diapain? Mawar pake hair spray ya?"

"Cuma sedikit, Ev biar tetap ngegulung. Dan emangnya gue gak kelihatan dewasa?" Aku merapikan rambutku, yang ku roll semalaman agar mengembang pagi ini. Menepuk-nepuk pelan rambut depanku yang kusisir kearah belakang, aku merasa sudah cukup banyak usaha untuk berpenampilan seperti ini.

"Dewasa? Lu yakin bukannya mau niru Bu Layla?" Bia, dan mulutnya yang julid.

Aku memutar mataku, kesal karena dia tiba-tiba mengait-ngaitkan ku dengan wanita pasca puber itu. "Masa iya gue mirip Bu Layla?"

"Sejujurnya, Mawar memang kelihatan kayak Bu Layla." Eva tersenyum meminta maaf, dan aku memandangnya dengan tak percaya.

"Yeah, lagian apa-apaan blazer, kemeja dan celana panjang ini, Ra? Bukan style lu banget." Memegang ujung blazerku dengan ibu jari dan telunjuk, Bia mengernyitkan dahinya dengan tatapan tak yakin. "Ini tuh style Bu Layla! Apalagi bros itu!"

Aku menarik blazerku dari cubitan Bia, dan memandangnya dengan ganas. "Gue gak niru-niru dia!" Ujarku kesal.

Tapi Revan justru tertawa, dan menepuk-nepuk puncak kepalaku, yang kuhadiahi dengan pukulan pada lengannya. "Gimanapun gaya lu, gue tetap suka kok, War. Lu tetap cantik!"

"Muji sih muji, tapi jangab ngancurin tatanan rambut gue, susah payah ini buatnya!" Ujarku kesal, tapi Revan masih saja tertawa.

Kemudian, Pak Ditya masuk dan semuanya terdiam. Bia sudah kembali duduk dengan benar, dan Revan melemparkan senyum menggoda padaku. Aku hanya memutar mata. Lalu Pak Ditya melewatiku, awalnya dia tak menaruh perhatian padaku, tapi kemudian dia berhenti beberapa detik, menolehkan kepalanya dan menatapku. Ku berikan dia senyum tipis, tapi Pak Ditya hanya mengernyitkan dahi kemudian menuju mejanya. Dan pelajaranpun dimulai. Mungkin ini reaksi yang terlalu datar, tapi jika itu datang darinya, ini cukup banyak!

***

Kupikir, sepanjang pelajaran Pak Ditya akan terus-menerus memandangku. Dia memang beberapa kali melirikku, tapi cuma seperti itu, dan mau tak mau aku merasa kecewa. Bahkan kekecewaanku terbawa di kelas Bu Layla, yang melihatku seakan melihat serangga sementara aku tak cukup peduli karena sibuk memikirkan langkah apa yang harus ku ambil selanjutnya.

Hingga akhirnya, Bu Layla menghentikan jam kuliahnya di lima belas menit terakhir. Alasannya, karena dia mual! Aku punya dugaan, kalau dia mual karena uratnya ketarik gara-gara terlalu lama melotot padaku. Atau, mungkin dia hamil! Semoga saja dia hamil, ayahnya terserah siapa saja asal bukan Pak Ditya.

Aku menghela nafas, memasukan buku-bukuku ke dalam tas. Seluruh setelan ini rasanya panas, padahal ruang kelasku berpendingin tapi aku bisa rasakan keringat mengalir di punggungku.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang