Bia memandang cermin, melenggak-lenggokkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Meneliti penampilannya hingga gadis itu puas, karena hari ini semua harus berjalan sempurna.
Bulu matanya lentik oleh maskara, kelopak matanya di warnai dengan warna-warna natural yang tipis, begitu pula pipinya. Blush-on yang tersapukan di sana hanya cukup untuk membuat wajahnya terlihat segar dan lembut. Bia mengoleskan lipstik berwarna peach, dan menggulung tinggi rambutnya, membiarkan beberapa helai anak rambut jatuh berantakan di tengkuknya. Gadis itu merapikan poni kemudian tersenyum dengan hasilnya.
Memilih kemeja flanel kebesaran berwarna merah dengan motif kotak-kotak besar bergaris hitam dan celana jeans pudar sebagai outfitnya hari ini, Bia melengkapinya dengan tas selempang berwana hitam. Dia tidak tahu apakah Mas Alder menyukai penampilannya ini atau tidak, tapi setidaknya dia tidak akan memancing pemuda itu untuk marah. Seperti yang terakhir kali.
***
Bia terisak kecil, membenci Mas Alder dan pacar penyihirnya. Gadis itu bertekad tidak akan datang kerumah Rora untuk beberapa saat, terlalu sakit mengingat kejadian tadi. Bagaimana bisa Mas Alder membentaknya untuk sesuatu yang tidak dia pahami di depan wanita itu. Harga diri Bia hancur, dan terlebih lagi karena itu dari Mas Alder makanya rasanya jauh lebih sakit.
Karena kata-kata dari orang yang kau suka, akan jauh lebih menyayat daripada pisau. Sekecil apapun itu.
Ponsel Bia berdering, gadis itu mengabaikannya. Tidak mood untuk menjawab telepon dari siapapun saat ini, bahkan jika itu Rora. Padahal ketika dia pulang tadi, Bia sudah jelas mengatakan kepada Rora untuk membiarkannya menenangkan diri terlebih dahulu. Jadi mungkin itu bukan sahabatnya, dan Bia semakin malas untuk menggubrisnya.
Namun deringan telepon itu tak juga berhenti, membuat Bia kesal karena cukup mengganggu. Jadi gadis itu meraih ponselnya, berniat mematikan benda itu dan lanjut mengasihani diri. Namun ternyata dia justru terpaku, nama Mas Alder terpampang pada layar sentuh ponselnya, dan isak yang semula mencuri nafasnya tiba-tiba saja terjeda. Memandang layarnya, Bia mulai merasa ragu.
"Halo?" Ucapnya, memutuskan untuk menjawab panggilan itu. Mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa mengabaikan Mas Alder sedetik saja.
"Keira?" Suara disebrang sana serta merta membuat Bia merinding, ternyata dia benar-benar mencintai pemuda ini. "Kamu gak apa-apa?"
Bagaimana gue bisa baik-baik saja setelah lu permalukan di depan pacar lu kayak gitu!
"Ada perlu apa, Mas? Aku mau tidur." Bia berujar dingin, alih-alih menjawab lebih memilih menghindar.
"Kei... Kamu marah?"
"Iya." Jawabnya tegas, karena Bia sedang tak berminat untuk bersikap baik pada pemuda di balik telepon ini.
Untuk beberapa saat, Mas Alder tak mengatakan apapun. Lalu tarikan nafasnya terdengar begitu jelas. "Mas salah, Mas minta maaf. Gak seharusnya Mas ngebentak kamu kayak gitu. Tapi kamu perempuan, dan Mas gak mau kamu kenapa-kenapa. Dan pakaian kamu tadi bisa menimbulkan sesuatu yang gak diinginkan."
"Sesuatu yang gak diinginkan? Apa misalnya?" Ujar Bia kesal, merasa tersinggung.
"Kei, please, Mas nelepon kamu sekarang bukan untuk ngediktein kamu. Mas mau minta maaf. Dria bilang kamu nangis, dan itu ngebuat Mas ngerasa bersalah banget."
"Jadi kalau aku gak nangis, Mas gak akan ngerasa bersalah?"
"Kei... Please." Mas Alder menghela nafas. "Gimana supaya kamu bisa maafin Mas? Berkotak-kotak cheesecake?"
"Aku gak pengen cheesecake, udah terlalu banyak cheesecake."
"Terus apa? Sebutin aja, apapun itu nanti Mas kabulin. Yang penting kamu udah gak marah sama Mas." Suaranya terdengar putus asa, dan sialnya itu membuat Bia merasa simpati. Padahal dia tidak ingin merasa kalah oleh pemuda ini. Dia ingin menghukumnya, menyakitinya kalau bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomansaHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...