XIV

36.6K 2.5K 47
                                    

"Bi, lu pernah dipeluk gak?"

Menyemburkan cake kejunya, Bia kemudian terbatuk-batuk dengan heboh.

Aku mengulurkan tisu padanya. "Pelan-pelan makannya." Gumamku, melanjutkan memakan choco lava-ku dengan tenang.

Bia mendelik, membersihkan kekacauan yang dia buat, gadis itu kemudian melemparkan tisunya padaku yang berhasil ku hindari dengan baik. "Pertanyaan lu tuh absurd banget tau gak?!" Menenggak susu cokelat sampai habis dalam sekali teguk. "Kenapa emangnya? Pak Ditya meluk lu?"

Kali ini, aku yang hampir menyemburkan choco lava, namun aku buru-buru meminum susu cokelat ku sendiri. "Ya enggaklah! Mana mungkin gue segampangan itu mau dipeluk-peluk orang." Ujarku marah. Meskipun begitu, ada rasa gugup yang kemudian datang.

Bia menatapku curiga. "Terus ngapain lu nanya kayak gitu?"

Menaikan kakiku, dan bersila di atas kursi makan, aku memotong kueku lambat-lambat. Menghindari tatapan Bia, dan sama sekali tak melihatnya. "Cuma mau tau aja, rasanya kayak gimana." Memasukan satu potong kue, aku mengemut-emut sendok kueku.

"Alasan lu lemah! Lu kan pernah pacaran, masa iya lu gak tahu."

Aku mengangkat kepalaku, dan melihat Bia yang masih memandangku dengan curiga. Bia benar, itu bukan masalah besar di peluk seseorang, aku pernah merasakannya. Tapi kemudian, bayangan lengan yang kekar di balik kemeja yang di kenakan Pak Ditya hari itu menggangguku. Termasuk aromanya, dan dada bidangnya. Rasanya keras, hangat, dan--aman.

Stop it, Roza! Waras dikitlah...

"Then?"

"Hah?"

"Pak Ditya! Dia kenapa? Terus kenapa lu tiba-tiba nanya kayak gitu?"

Menatap Bia bingung, aku akhirnya tersadar dari lamunanku. Heran, belakangan ini aku jadi sering melamun. Rasanya jadi mirip kukang! "Oh! Enggak sih, cuma kemarin tuh gue lagi beresin rak bukunya Pak Ditya, naik bangku tapi kepeleset, terus ditangkap Pak Ditya, udah gitu aja." Jelasku singkat, mengorek-ngorek cokelat di kue ku.

Bia menghela nafas bosan. "Kirain kenapa. Ya kalau gitu, wajarlah. Bisa-bisa dituntut dia kalau mahasiswanya kenapa-kenapa dibawah pengawasan dia." Ucapnya santai. Tapi kemudian, Bia menatapku kelihatannya nyaris kesal. "Jangan bilang, gue udah bela-belain nginap, dan lu cuma mau cerita hal ini aja?"

Aku kembali mengemut sendok kueku, dan memandang Bia dengan ragu-ragu. "Secara garis besar sih, iya."

"Terus?" Tanyanya curiga.

Menggigit bibir, tatapanku berubah menjadi spekulasi. Sejenak berpikir, kemudian aku menyingkirkan kueku, dan memajukan tubuh ke arah Bia. Menumpukan kedua siku di atas meja, aku menatap Bia dengan serius. "Lu tau gak sih Bi, gue rasa Pak Ditya suka banget minum kopi. Soalnya baunya lengket di badannya. Terus otot lengannya juga kencang, keras gitu, padahal ga kelihatan kan ya kalau dia pakai kemeja. Terus lagi, ternyata mata dia tuh cokelat, bulu matanya juga lentik. Berasa kalah gue sebagai cewek."

"Terus?"

"Terus gue juga penasaran, dia pakai parfum apa. Wanginya cowok banget, tapi enak."

"Terus?"

Memiringkan wajahku, aku mengedipkan mataku beberapa kali. Bingung. "Um, udah kayaknya itu aja."

"Terus, lu suka sama dia?"

Spontan, tubuhku jatuh di atas meja, komikal.

"Jadi, lu kena karma?"

Menarik tubuhku kembali ke tempat dudukku, dan duduk dengan tatapan tak percaya pada Bia, aku meraih susu cokelat ku dan meneguknya sampai habis. Kemudian membanting gelasnya ke atas meja dengan berlebihan. "Gila lu, Bi! Ya enggaklah!" Sanggahku, macam orang kebakaran jenggot. Jangan tanya jenggot yang mana yang kubakar! "Gue sih ogah sama om-om kayak gitu! Lagian ada Eva."

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang