LII

33.2K 2.3K 62
                                    

"Tu--tunggu dulu, Pak." Aku memutar tubuh, dan seketika itu juga sabuk pengaman menahanku. Dengan kesal aku melepaskannya, dan kembali memutar badan menghadap Pak Ditya, agar dia tahu apa yang akan aku sampaikan selanjutnya itu serius. "Saya gak benci Bapak." Ujarku tegas, kemudian menarik nafas.

Sementara Pak Ditya, memandangku dengan sabar. Tidak yakin juga sebenarnya, soalnya wajahnya terlalu datar.

"Ya, kemarin saya kabur begitu saja. Saya akui itu salah. Tapi gimana saya gak kabur, Pak. Kejadian kemarin itu benar-benar memalukan! Saya bahkan gak yakin bisa ketemu orang tua Bapak lagi." Jelasku, agak sedikit berapi-api.

Pak Ditya mengalihkan pandangannya pada tembok di depan sana, sementara satu jari mengetuk-ngetuk kemudi yang masih di cengkeramnya. "Jadi, kamu benar-benar ingin memutuskan rencana pertunangan ini?" Tanyanya, masih belum menatapku.

Hah?! Aku memandang pria di depanku itu dengan sangsi. Apa dia benar-benar mendengar penjelasanku tadi? Atau otaknya terlalu kacau hingga tidak bisa memproses kata-kata ku? Bagian mananya kalimatku yang mengatakan aku keberatan? "Maksud Bapak? Kan saya barusan menjelaskan kalau saya tidak benci bapak."

"Ya, tapi kamu juga tidak sanggup lagi untuk ketemu orang tua saya."

"Itu karena saya malu, Pak. Bukannya saya gak setuju dengan perjodohan ini."

"Tapi bagaimana kamu bisa menikah sama saya kalau kamu tidak mau bertemu dengan orang tua saya." Pak Ditya kembali menatapku, kedua matanya tajam kali ini.

Aku terdiam, agak kesal karena ucapannya benar tapi bukan itu maksudku! Namun setelah ku ulang-ulang kata-katanya di kepala ku, ujung-ujungnya aku malah jadi malu. Mendengar kata pernikahan dari bibir Pak Ditya rasanya kayak hal itu benar-benar akan terjadi. Terlebih lagi, ini artinya aku tidak bertepuk sebelah tangankan?

"Atau kamu lebih suka dijodohkan sama Andra aja?"

Hah gak salah tuh?! Apa lu gak dengar kalau kemarin gue bilang gue sukanya sama lu! Benar-benar gak peka nih!

"Bukannya gitu, Pak! Arghhh!" Aku menjerit kecil akhirnya, gemas! Kenapa pria satu ini kepekaannya minus banget sih! Benar-benar bikin stres! Menarik nafas panjang dan mengumpulkan sisa-sisa kesabaranku, selanjutnya aku berbicara dengan menggertakan gigi, menahan diri untuk tidak meledak! "Pak, masa iya saya mau perjodohan ini dibatalkan, Bapak kan tahu kalau saya su--"

--ka Bapak.

Kata-kata ku teredam, bibirku terkunci. Sesuatu yang lembut menekannya  pelan, menelan sisa kalimat dari bibirku. Mengedipkan mata beberapakali dengan tak percaya, sekejap itu juga momen itupun usai. Tak cukup lama, namun ketika aku sadar, walaupun itu hanya sesaat, sudah membuatku gila.

Pak Ditya kemudian menarik dirinya beberapa senti, cukup jauh hingga aku bisa melihat wajahnya yang melukiskan senyum licik. Matanya menatap bibirku, seakan yang baru saja tak cukup untuknya. "Saya sudah lama menahan diri, jadi ini bukan salah saya karena bisa terpancing begitu mudah."

Aku mundur hingga membenturkan punggung pada pintu mobil. Telapak tanganku menutup bibir dengan tak percaya. Mati-matian otakku mencerna, namun tak bisa berpikir lain, dan rasanya berkabut. Seakan-akan  apa yang terjadi tidak bisa masuk di akalku. Apa barusan, dia menciumku?!

"Jadi," Pak Ditya mengulurkan tangannya, meraih sejumput rambutku dan memilinnya di satu jari. Matanya tak lepas memandangku, dan aku tak mau berpikir bagaimana tampangku saat ini. Karena sudah pasti kacau! "Perjodohan ini, bisa kita lanjutkan?"

Aku menggigit bibir, mencoba berani memandangnya balik. Perlahan, dengan terkesan ragu, akhirnya aku mengangguk. Bukankah dari awal aku juga tidak menolaknya?

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang