Aku mengatur nafasku yang pendek-pendek, sementara jantungku berdetak terlalu kuat sampai membuat dadaku sakit. Mencengkram dada, kepalaku rasanya pusing, mungkin kurang oksigen. Aku melirik jam tanganku, sudah nyaris jam dua, aku harap ketergesaan ku ke mari tidak sia-sia.
Membuka ikat rambutku yang longgar, aku mengumpulkan rambutku menjadi satu dan menggulungnya asal. Beberapa anak rambut menggelitik tengkukku, tapi setidaknya tidak mengganggu mataku. Akupun menarik nafas panjang, memasukan oksigen yang berharga ke paru-paru ku penuh-penuh. Lalu mengangkat tanganku untuk mengetuk pintu.
Tok... Tok... Tok...
Hening.
Melirik jam tanganku, ini baru jam dua, bukankah seharusnya dia ada? Atau karena ini hari jumat jadi dia pulang cepat? Untuk kedua kalinya, aku mengetuk lagi, dan dengan merasa putus asa pintu itu tetap bergeming, dan hening tetap mencekam. Lama-lama disini aku bisa buat kumpulan puisi.
Nyaris merasa menyesal, tahu begini tadi aku selesaikan saja makanku bersama teman-temanku. Kalau tidak karena Bia yang mendesak mengingatkanku bahwa ada mata kuliah pajak hari senin, serta mengingat besok aku tidak ada kuliah, aku tidak akan buru-buru kembali ke kampus. Apalagi kalau tahu hasilnya ternyata sia-sia seperti ini.
Mengetuk sekali lagi hanya karena iseng, aku benar-benar terkejut saat tiba-tiba saja pintu itu terbuka, dan melihat pak Ditya berdiri di depanku dengan wajah datar. Sebelah tangannya memegang gagang pintu, sementara sebelah lagi melepas kacamatanya. Rambutnya berantakan, mungkin dia habis tidur di dalam makanya tidak dengar ketukanku. Tapi membuka pintu tanpa suara seperti itu, sebenarnya dia dosen atau ninja?
"Ada apa?" Tanyanya dingin, suaranya kasar seperti sudah lama tak dipakai.
Aku mengedip beberapa kali, dan sadar kalau sejak tadi aku hanya diam. "Maaf pak karena sudah mengganggu. Saya datang kemari karena," berhenti sejenak, sebenarnya aku ragu mau bilang apa. Bagaimana menyampaikan alasanku tanpa terdengar kasar atau menantang? Karena jujur saja, emosiku sedang meledak-ledak saat ini. Menarik nafas panjang--lagi--aku memasang wajah memelas. "Karena saya mau minta maaf pak."
Pak Ditya menatapku, tatapannya tajam, aku nyaris mundur selangkah saking terintimidasinya. Tapi kemudian dia berbalik, masuk ke ruangannya. "Silahkan masuk, dan hati-hati dengan buku-buku saya." Ujarnya sebelum duduk di dibalik mejanya.
Ruangan itu persis sama seperti terakhir kali aku datang. Namun yang ku syukuri, ruangan ini sekalipun berantakan tidak bau sesuatu yang tak enak. Aku cuma bisa mencium bau kertas dan buku-buku tua, yang entah bagaimana cukup menenangkan. Aku melirik rangka model yang ternyata masih juga di sana ketika akhirnya aku berdiri di depan meja pak Ditya seperti kemarin.
"Jadi, 04316028, apa yang mau kamu katakan?" Pak Ditya mengambil buku catatannya, dan membukanya. "Roza Andria?" Tambahnya setelah melirik singkat bukunya dan kemudian memandangku.
Aku nyaris memutar mataku, apa segitu susahnya mengingat namaku, sampai-sampai dia harus mengecek bukunya setiap kali mau bicara denganku. Namaku cuma dua kata! Apa kabar nama Bia yang bahkan sampai empat kata?! "Saya mau minta maaf pak." Ujarku pelan, berusaha sesopan mungkin.
"Minta maaf untuk?"
Aku memandangnya, mereka-reka apakah dia lupa dengan kejadian kamis kemarin atau hanya mengetes ku. Aku putuskan, dia hanya mengetes ku. "Kelancangan saya hari Kamis pagi kemarin."
Pak Ditya tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang ku seakan menyuruh ku melanjutkan. Jadi, kurasa benar dia hanya mengetesku tadi.
"Saya mengaku salah, karena sudah bertindak tidak sopan. Tidak seharusnya saya mendahului bapak seperti itu, seterburu-buru apapun saya. Dan seharusnya saya menghormati bapak, bukannya menjawab bapak seperti yang saya lakukan kemarin." Walaupun yang gue lakuin kemarin kan ga salah. Dosen selalu paling benar, huh!
Pak Ditya menyilangkan tangannya di dada dan mengangguk-angguk merasa puas. Dosen yang seperti ini sebenarnya yang paling aku tidak suka, bentuk nyata dari istilah 'Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, kalau dosen salah lihat ke pasal satu.' menyebalkan.
"Jadi karena itu, pak, saya minta maaf." Mencoba bersungguh-sungguh sebisa yang kulakukan.
"Baiklah," ujarnya, aku nyaris mengukir senyum sampai dia mengambil bolpoin dan mencoret sesuatu di buku catatannya. "Kalau begitu saya akan mengurangi satu nilai absensi kamu, saya harap ini akan jadi pelajaran buat kamu."
Aku terkejut, bercampur kesal, kemudian rasanya mau marah. Di dalam peraturan kelasnya, satu absensi yang kosong bernilai tiga puluh persen nilai keseluruhan. Makanya jika tiga kali absen artinya sama saja tidak lulus. Pelajaran dia susah, jadi bagaiamana mungkin aku bisa mengumpulkan nilai tujuh puluh persen lainnya dengan penuh? Ini sih sama saja jebakan!
"Tapi pak!"
Dosen menyebalkan itu menatapku, begitu tenang. Bisa-bisanya setelah memotong nilai mahasiswanya sebesar itu dia masih tanpa ekspresi? Kemana hati nuraninya?! "Kenapa? Kamu tidak setuju?"
"Pak, tiga puluh persen itu terlalu besar. Saya mohon pak, jangan potong nilai saya." Karena kalau potong nilai juga, apa bedanya aku cuci nilai di tahun depan?!
"Lho, kamu tidak berpikir kalau dengan kesalahan kamu, kamu tidak akan diberikan sangsi kan?"
Fix! Hati nuraninya sudah di jual ke tukang loak!
"Saya tidak bermaksud begitu pak, hanya saja, saya mohon jangan potong nilai saya. Kalau bapak mengijinkan, saya bisa bikin makalah atau karya tulis?" Usulku, berharap belas kasih. Yah walau tidak punya hati nurani, aku sangat berharap setidakya dia masih punya prikemanusiaan.
"Saya sedang tidak banyak waktu untuk membaca karya tulis kamu. Kenapa hukuman kamu jadi harus merepotkan saya?"
Wah! Ternyata dia juga menggadaikan prikemanusiaannya!
Aku tertegun memandang dosen tak punya hati di depanku itu, nyaris tidak mempercayai pendengaranku sendiri. Tapi jika di kaitkan dengan gosip yang beredar, pantas saja dia masih single, pasti tidak ada orang yang betah dengan sikapnya! Ruangannya saja berantakan, apalagi hidupnya!
Tiba-tiba sesuatu muncul di kepalaku, ide yang hampir tidak masuk akal. Tapi karena terlanjur sudah menyerah, lanjut saja. "Kalau begitu pak, maaf, bagaimana kalau saya mengajukan diri sebagai asisten bapak selama sisa semester? Dengan begitu saya bisa membantu pekerjaan bapak dan mengganti point saya."
Dosen tak berperikemanusiaan itu menatapku dengan tajam, menelitiku dalam-dalam. Rasanya seperti dikuliti untuk melihat bagaimana rupa organ dalamku. "Kamu tidak punya kualifikasi sebagai pengganti saya. Bagaimana bisa kamu meringankan pekerjaan saya?"
Ya Tuhan!!! Kenapa kau tak masukan saja manusia satu ini langsung ke nerakamu! Bukankah iblis jatuh ke dunia karena kesombongannya?!
Menggigit bibirku, dan mencengkram pergelangan tangan, aku mengucapkan kata-kata di dalam hati bagaikan mantra. Berharap itu bisa menahan emosiku. Tahan diri, Roza, tahan diri. Ingat cumlaude!
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...