Aku menghabiskan waktu nyaris dua jam mengosongkan isi lemariku, mencari pakaian yang pantas aku pakai ke kampus hari ini. Tidak seperti biasanya, kupikir setiap baju yang kupakai tidak layak semuanya. Padahal, hari ini tidak ada kuliah, aku hanya akan membantu Pak Ditya seperti biasa. Tapi berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan boleh saja kan?
Hingga akhirnya, kuputuskan mengenakan terusan baby doll selutut berlengan panjang berwarna putih dan biru tua. Kuikat rambutku dengan model ekor kuda, dan kusapukan sedikit riasan pada wajahku. Lalu, hasil akhir yang kulihat justru membuatku meringis. Bukan karena tampak mengerikan, tapi lebih kepemikiran mengapa aku harus begini bersusah payah hanya untuk menjadi asisten Pak Ditya? Tapi meskipun begitu, tak sedikitpun waktu yang kubuang untuk mengubah penampilan ku dari awal lagi.
Dengan segala kekacauan yang sudah kubuat pada lemariku, kupikir aku akan sangat terlambat datang ke kampus. Tapi ketika aku berdiri di depan pintu ruangan Pak Ditya dan mengetuknya berkali-kali tanpa ada jawaban, kuperiksa jam tanganku untuk terkejut karena menemukan jarum pendek menandakan aku terlalu cepat satu jam.
Tentu saja dosen itu tak menjawab, dia mungkin tidak di dalam, mungkin saat ini dia sedang mengajar.
Menggigit bibir, aku berjalan mondar-mandir. Apa yang kupikirkan tadi hingga berangkat terlalu cepat, dan apa yang harus kulakukan sekarang untuk membunuh waktu satu jam? Tak mungkinkan aku terus-terusan berdiri di sini, berjalan mondar-mandir, menunggu Pak Ditya datang membukakan pintu sehingga aku bisa masuk? Satu jam itu bukan waktu yang sebentar, dan aku mulai lelah, aku ingin duduk.
Tunggu! Kok ribet amat?! Gue kan punya kunci.
Memukul kepala ku sendiri karena merasa bodoh, ku rogoh tas selempangku, mencari kunci yang Pak Ditya berikan kemarin. Merasa heran kenapa aku bisa melupakannya, aku bahkan memberikannya gantungan kunci berbentuk tengkorak pagi ini. Dan bukankah karena terlalu bersamangat memiliki kunci sendiri aku jadi datang pagi-pagi? Dasar bodoh!
Memasukan kunci kedalam lubangnya, aku tersenyum kecil saat mendengar bunyi 'klik' lembut.
Euforia ku masih tersisa saat aku masuk ke dalam ruang Pak Ditya, namun kemudian lenyap tak bersisa saat kulihat lantai ruangannya yang penuh dengan buku berserakan. Tak habis pikir, kenapa laki-laki itu tak bisa menjaga kerapian! Rasanya ingin berteriak, karena itu menahan kesal membuatku semakin sebal.
Menarik nafas panjang, dan membuangnya dengan ganas, aku meletakan tasku diatas bangku dan mulai berkeliling dengan berkacak pinggang. Dengan memejamkan mata, akupun memantapkan hati, lalu mulai memungut buku-buku di bawah kakiku dan meletakannya kembali ke atas rak buku.
Sepanjang pekerjaan, aku terus ngedumel. Sulit bolak balik naik bangku dengan pakaianku sekarang, tapi apa aku punya pilihan? Tidak! Lagipula aku tak habis pikir, kenapa aku memilih baju ini untuk datang 'bekerja'. Argh!!! Ini bikin gue jadi frustasi! Gara-gara Bia nih! Kalau dia gak ngomong yang macam-macam kemarin kan gue jadi gak perlu repot!
Memungut buku-buku terakhir yang berserakan di sudut Sunshine, aku kemudian melirik tengkorak itu. Lalu menarik nafas, duduk di hadapannya. "Sebagai seorang penjaga, gak seharusnya lu biarin Pak Ditya meletakan bukunya sembarangan seperti ini! Kan lu tahu kalau gue yang nantinya bakal repot!" Aku menggelengkan kepalaku, melempar buku-buku yang kupungut ke depan Sunshine. "Ini bahkan bukan buku-buku tentang ekonomi dan pajak. Sebenarnya apa gunanya sih dia membaca buku-buku kayak gini."
Meraih satu buku yang ku lempar, kubaca judulnya. 'Afterlife: Love And Death.'
Ku tatap lagi Sunshine, kali ini dengan pandangan malas. "Coba, apa-apaan buku ini? Emang ga ada buku lain yang lebih bermutu untuk di baca? Kenapa sih, kayaknya dia tertarik banget sama kematian? Bahkan bentuk lu aja kerangka!" Ucapku frustasi, melambai-lambaikan buku itu di depan Sunshine. "Hidupnya tuh suram banget, tau gak?!" Menghela nafasku keras, kulemparkan buku itu di kaki Sunshine. Buku itu terbuka dan selembar foto terhembus keluar.
Aku mengernyitkan dahi, meraih foto itu dan melihatnya, cukup terkejut. Itu foto Pak Ditya, bersama seorang perempuan, ditengah-tengahnya ada Sunshine. Mereka tampak muda, mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Sang perempuan cantik, rambutnya panjang dan keriting, senyumnya manis, tipe senyum yang bisa kau lihat berlama-lama. Tapi dari semua itu, yang membuatku paling terkejut adalah, senyum Pak Ditya. Aku tak tahu kalau dia bisa tersenyum seperti itu, seakan seluruh kebahagiaan berada di tangannya. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja aku menjadi iri dengan perempuan yang memeluk Sunshine ini.
"Ini siapa?" Kutunjukan foto itu kepada Sunshine. Konyol sebenarnya, tapi aku merasa marah dan tak tahu harus melampiaskannya kepada siapa, yang kutahu seseorang harus bertanggung jawab terhadap ini. "Apa ini pemilik lu sebenarnya? Sebenarnya lu ini siapa, Sunshine? Kenapa lu ada di ruangan Pak Ditya? Apa jangan-jangan perempuan di foto ini pacarnya Pak Ditya? Cepat kasih tau!" Menggigit bibir, sekarang kurasa aku mulai ngelantur! Ku tatap lagi foto itu, setelah kuucapkan keras-keras, aku makin menyadari kalau ini bisa saja benar-benar pacar Pak Ditya.
Kalau dia emang punya pacar, kenapa dia ngegodain Bu Layla?! Kenapa dia gak nyuruh pacarnya beresin ruangannya! Kenapa ngebiarin gue ngebantuin pekerjaannya?! Kenapa harus ngasih kunci ruangannya ke gue?! Kenapa harus sok misterius di depan gue?! Kenapa bikin gue penasaran?!
"Sunshine! Kenapa diam aja?! Jawab!"
"Kenapa kamu marah-marah sama tengkorak?"
Terkejut, aku memutar tubuhku dengan cepat. Nyaris bisa mendengar suara tulangku berderak, dan itu menyakitkan. Tapi rasa jantung nyaris copot di dadaku lebih mendominasi, apalagi setelah melihat Pak Ditya berdiri di belakangku, menunduk menatapku dengan ingin tahu. Secara diam-diam kusembunyikan foto yang kutemukan tadi di balik rokku, dan aku memaksakan senyum di wajah. "Pagi, Pak."
Pak Ditya menatapku beberapa detik, kemudian membungkuk dan menarik lenganku. Memaksaku berdiri. "Sudah saya katakan untuk tidak duduk di lantai, kan? Bajumu bisa kotor." Ujarnya, kemudian berjalan menuju mejanya.
Ngapain peduli sih! Peduliin aja pacar lu! Bukan gue!
Aku menggigit-gigit bibirku, dan memunguti buku-buku yang tadi ku lempar, lalu meletakkannya ke atas rak. Pikiranku masih berkecamuk karena foto, dan rasanya sesuatu yang meluap-luap di dadaku begitu menyakitkan jika tidak di keluarkan. Aku masih ingin marah-marah!
"Roza, ambilkan buku 'Konsultasi Pajak'."
Aku melirik Pak Ditya sekilas, tak merasa senang karena dia mengingat namaku. Pria itu mulai sibuk dengan laptopnya, ketidakpeduliannya membuatku kesal. Kembali menatap rak, aku mencari-cari buku yang di maksud. Melihatnya satu persatu, namun tak juga menemukannya. Maka, aku beralih kepada beberapa buku yang masih berserak di kaki Sunshine. Lalu dalam sekejap menemukan buku itu.
"Roza? Mana bukunya?"
Membungkuk meraih buku tersebut, aku kemudian menoleh kepada Pak Ditya dengan begitu cepat. Memangnya dia pikir salah siapa aku jadi membutuhkan waktu untuk mencarinya. Dengan menghentak kaki, aku meletakan buku itu di atas meja Pak Ditya.
Pak Ditya memandangku, dahinya berkerut.
"Pak, bapak punya pacar kan?"
----------------------------------------------------------------------
Terimakasih untuk yang masih setia membaca cerita ini dan masih setia juga untuk menunggu kelanjutannya, kehadiran kalian sangat berarti buat saya. Terimakasih juga untuk yang udah komen dan vote, sering ketawa kalau baca-baca komen kalian. Terakhir, terimakasih untuk kalian yang menemukan cerita ini dan memasukannya ke dalam reading list kalian, padahal banyak banget di luar sana yang punya cerita lebih bagus dan lebih berkualitas dari novel ini.
Hai, kalian para readers dan followers ku, aku cuma mau mengucapkan, i love you guys...
You are the best!Best regard,
R. R. Putri
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...