XXXV

32K 2.5K 162
                                    

Ketika berdiri di depan pintu ruangan Pak Ditya, aku menarik nafas cukup panjang. Espresso ditanganku agak bergetar, jadi kupegang dengan dua tangan untuk menenangkan diri. Pada akhirnya, aku mengetuk pintu Pak Ditya, dan menunggunya mempersilahkan ku masuk. Aku kembali menarik nafas panjang, sebelum akhirnya membuka pintu itu dan masuk ke dalam ruangannya.

"Pagi, Pak." Sapaku, berusaha terdengar seceria mungkin tanpa terdengar aneh. Kuletakan satu cup espresso yang kubawa ke depannya. "Espresso." Ujarku, singkat.

Pak Ditya mengangkat kepalanya dari buku yang tengah di bacanya, dan menatapku dengan mengernyitkan dahi. Tapi dia tak mengatakan apa-apa, hanya melirik kopi yang kuletakan lalu meraihnya. Menyesapnya sekali dan kembali kepada bukunya.

Bukan reaksi sedatar ini yang ku harapkan, tapi aku mengucapkan berkali-kali untuk tidak melambungkan harapan di dalam hati agar tidak terlalu merasa kecewa. Jadi, aku berbalik dan menyiram mawar di bingkai jendela.

Pembicaraanku dengan Bia kemarin berputar-putar di kepalaku. Kalau terus seperti ini, kami akan stuck di tempat. Lebih parahnya lagi, Pak Ditya bisa direbut orang lain. Mungkin Bu Layla, wanita itu jelas menyukainya, atau cewek yang ada di foto waktu itu? Kelihatannya mereka akrab. Lalu mau sampai kapan aku denial?

Mungkin aku tak seekstrim Bia, tapi seharusnya aku melakukan sesuatu!

Berbalik, dan duduk di bangkuku, Pak Ditya masih membaca buku. Kacamata pria itu tertengger rendah di hidungnya, sementara Pak Ditya menunduk terlalu dalam untuk membaca buku yang diletakannya di atas meja. Sesekali pria itu meraih cup kopi yang kuberikan, dan menyesapnya. Aku harus melakukan sesuatu untuk menarik perhatiannya, atau sepanjang sesi kami akan terlingkupi dalam keheningan.

"Pak, jangan terlalu dekat ngeliat bukunya. Nanti sakit lho matanya." Aku menarik makalah terakhir yang kuperiksa, seakan-akan aku hanya berbicara sambil lalu. Bahkan aku tak menatap kearahnya.

Pak Ditya melirikku sekali, kemudian menegakan duduknya. Melepas kacamata, pria itu memijat pangkal hidungnya. "Kamu bisa beliin saya makanan? Sekalian makan siang buat kamu juga."

Baru saja makalah pertama kubuka beberapa lembar, perhatianku teralih sepenuhnya oleh pria di depanku. Pak Ditya memejamkan matanya, sementara kepalanya bersandar pada punggung kursi. "Makan siang Pak? Tapi kan ini baru jam,"--kulirik jam tanganku--"jam setengah sebelas, Pak."

"Tidak apa-apa, tadi pagi saya belum sarapan." Pak Ditya masih memijat pangkal hidungnya.

Aku kemudian meraih kopi yang kuberikan tadi. "Bapak minum kopi padahal belum makan? Kenapa gak bilang?"

Membuka matanya, Pak Ditya memandangku dengan heran. Kemudian pria itu kembali duduk tegak. "Kenapa saya harus bilang?"

"Ya kan jadi saya gak beliin bapak kopi, saya kan bisa beli makanan."

"Makanya saya suruh kamu beli makanan sekarang." Lalu Pak Ditya melipat kedua tangannya di atas meja, menunjuk kopi di tanganku menggunakan matanya. "Terus itu kopinya mau kamu ambil lagi? Mau diminum lagi kayak kemarin?"

Seketika itu juga aku kembali mendorong kopi itu kepada Pak Ditya. Dengan cemberut aku berdiri. "Ya udah, bapak mau di beliin apa?"

Ini kejadian langka, tapi Pak Ditya tersenyum, dan itu membuatku terpukau. Aku menelan ludah, menatapnya tak berkedip, sementara pria itu mengeluarkan dompetnya. "Apa aja." Ujarnya, menyerahkan selembar uang seratus ribu.

Untuk sesaat aku masih terpaku, tapi wajah Pak Ditya sudah kembali datar. Jadi aku mengambil uang itu dan berbalik. Tapi aku belum sempat keluar ruangan, ketika Bu Layla memasuki ruangan Pak Ditya. Agak terkejut melihatku, kemudian memandang sinis. Heran juga, memangnya salahku apa sama dia?

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang