Aku menatap punggung Bia yang tengah membongkar lemariku, bibirnya menyiulkan sebuah lagu yang tak ku kenal. Mukaku tertekuk, menyilangkan lengan di dada dan duduk bersila di tempat tidur. Aku tahu Bia sadar sejak tadi aku memperhatikan gerak geriknya, tapi tampaknya gadis itu tak peduli dan bertingkah seakan tak terjadi apa-apa.
Bagiku sekarang, gadis itu adalah seorang pengkhianat.
"Gimana kalau yang ini, Ra?" Bia berbalik, menunjukan sebuah dress berwarna jingga pastel. "Gue suka pas lu make ini waktu ulang tahun gue tahun lalu. Iri deh, lu masih bisa make baju-baju lama." Pandangan Bia menerawang, mungkin dia mengingat kenangan ketika hari itu.
Aku memandangnya tajam, informasi tak bergunanya itu hanya membuatku semakin kesal. Sementara dia harus bolak balik membeli pakaian baru karena tubuhnya berkembang, aku justru terjebak dengan pakian lamaku karena pertumbuhan ku mati di tempat.
"How?" Lanjut Bia memberikan cengirannya, dan menatapku dengan berbinar-binar.
"Dibayar berapa lu sama nyokap gue buat datang ke sini hari ini?" Tanya ku ketus.
Bia menghela nafasnya, dan mendekatiku. Duduk di ujung tempat tidur, diletakannya dress itu terkembang di sebelahnya. "Jangan sinis gitu lah. Tante Sherina gak ngasih gue apa-apa kok, gue cuma memenuhi permintaan tolong aja."
"Oh, jadi gratis?"
"Ya kan gue gak mungkin nolak Tante Sherina, Ra."
"Kenapa?" Pandanganku curiga, namun sedetik kemudian aku tertawa dengan sarkas. "Oh gue tahu, lu mau ngejilat nyokap gue karena dia nyokap kakak gue juga kan?!"
"Ra,..."
"Pengkhianat lu, Bi!" Aku turun dari tempat tidur, dan menuju pintu. Tapi kemudian Bia menahan tanganku, membuatku menghentikan langkah. "Apa?!" Hardikku.
Bia memasang wajah memelas. "Jangan marah dong, Ra. Dengerin gue dulu." Ujarnya memohon.
"Lu punya alasan apa emang?! Cukup meyakinkan sampai gue maafin lu karena berkomplot sama nyokap gue?! Lu sadar gak sih, Bi, yang lu lakuin ini bisa ngancurin masa depan gue!" Murkaku, menghempaskan tangan Bia. Heran, ada apa sebenarnya dengan semua temanku akhir-akhir ini? Revan, Eva, sekarang Bia?!
"Iya gue tahu, Ra. Gue juga bukannya mau ngedukung perjodohan sepihak kayak gini."
"Terus?!"
"Tapi gue pikir, kenapa lu gak liat dulu aja. Bukannya lu bakal dinikahin hari ini juga kan? Ini cuma ketemu keluarga aja kan? Lagian Pak Ditya juga belum ada kabar, kali aja si Andra ini baik?" Ujar Bia, jelas-jelas dia sendiri tak mempercayai kata-katanya.
Aku mendengus. "Lu tau gak sih Bi, kemarin bahkan si Andra ini gak mau bayarin minuman gue! Cowok macam apa yang keluar sama cewek, nyuruh tuh cewek bayar sendiri makanannya?! Belum nikah aja kayak gitu pelitnya, gimana nanti kalau udah nikah?!"
Bia meringis mendengarnya, tapi gadis itu masih juga memaksakan senyum, yang jelas tampak tak meyakinkan. "Yah, mungkin karena dia masih mahasiswa?"
"Es kelapa emang semahal apa sih, Bi?! Kalau kayak gitu aja dia gak sanggup bayar, dia mau ngasih gue makan apa nanti?! Lagian masih mahasiswa aja udah berani ngajak nikah anak gadis orang. Punya modal apa dia emangnya?!"
"Emang lu mau dinikahin kapan? Gak nunggu lulus dulu gitu?"
Aku kemudian menggigit bibir, menjadi ragu-ragu. "Ya gak tahu."
"Yee,... Makanya mikir jangan kejauhan, kali aja kalian mau dinikahin kalau si Andra udah dapat kerja. Mungkin sekarang cuma buat nenangin bokapnya biar gak kepikiran. Kata lu, itu kan alasan adanya perjodohan ini." Jelas Bia, dan mau tak mau kupikir itu alasan yang masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
Roman d'amourHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...