Kepalaku rasanya mau pecah, sejak pagi senut-senut. Mungkin karena tadi malam kurang tidur, terlalu sibuk marah dengan Mas Yozha dan mikirin cewek di foto Pak Ditya. Aku jadi bertanya-tanya, apa ada remaja di dunia ini yang punya banyak pikiran seperti aku. Bahkan, aku sampai syok karena menemukan satu helai uban ketika menyisir rambutku sebelum berangkat.
Soal Mas Yozha, seharusnya aku ceritakan pada Bia. Temanku itu biasanya tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Karena Bia orang paling berkepala dingin yang aku kenal, biasanya aku hanya bergantung padanya. Tapi aku belum tahu bagaimana harus memulai, aku takut Bia marah lagi pada Mas Yozha. Mengingat kejadian terakhir, itu bisa saja terjadi. Jika aku jadi dia, mendengar nama Rianti saja aku pasti kesal. Jadi bagaimana aku bisa membicarakan soal Mas Yozha yang berniat menikahi penyihir itu?
Pada akhirnya, kuputuskan untuk menundanya. Berniat akan membicarakan ini secara serius nanti, kalau perlu aku akan menginap dirumah Bia. Karena membicarakannya disela-sela pelajaran bukanlah waktu yang tepat.
Sementara untuk masalah Pak Ditya, aku menghela nafas. Saat ini, aku berdiri di depan pintunya, memegang satu cup latte dari cafe langgananku aku berniat untuk 'menjilatnya'. Kupikir, dari pada aku sibuk mereka-reka dan tak membuahkan hasil, lebih baik aku bertanya langsung padanya. Mengingat dia selalu berbau kopi, jadi kupikir dia menyukai kopi, dan kuharap memberikan kopi ini akan melembutkan hatinya dan membuatnya terbuka.
Sekali lagi aku menghela nafas, dan mengetuk pintunya. Menunggu Pak Ditya mempersilahkan aku masuk sebelum membuka pintu dan membiarkannya terbuka saat aku melangkah langsung menuju mejanya.
"Siang, Pak." Aku meletakan kopi itu di depannya. "Buat bapak, saya gak tahu bapak suka apa, jadi saya beliin latte." Ujarku ceria.
Pak Ditya melirikku dari balik kacamatanya, kemudian memandang kopi di depannya, lalu kembali meneliti berkas yang tengah dia periksa. "Kalau kamu gak tahu, seharusnya tanya." Ujarnya datar, aku menggertakan gigi.
Mulai lagi deh sifat soknya keluar. Udah syukur dibeliin!
"Saya lebih suka espresso," tapi dia meraih kopi yang kuberikan, dan menyesapnya sekali sebelum kembali kepada berkasnya.
Sebenarnya, aku kesal dengan kata-katanya, tapi melihat dia meminum kopi itu yang mungkin saja sebagai bentuk menghargai usahaku, membuatku sedikit lebih baik. Jadi aku menggantung tasku di punggung kursi, dan mengambil botol air minum. Berjalan menuju bunga mawar di bingkai jendela. Aku menuangkan isinya, menyiram bunga itu. Berlama-lama, aku menyiapkan hati sebelum kembali ke bangkuku yang biasa. Menarik makalah-makalah yang harus kuperiksa, apa yang kulakukan nantinya haruslah terasa halus.
"Um, Pak. Ngomong-ngomong, adik bapak itu cewek atau cowok?" Ujarku memulai, berpura-pura sangat tertarik dengan tugas yang tengah kukerjakan. Aku memutar-mutar pulpenku dengan gugup.
"Cowok."
Mengangkat kepala dengan cepat, aku menatap Pak Ditya yang masih sibuk dengan berkasnya dalam keterkejutan yang nyata. Tunggu dulu! Barusan dia bilang adiknya cowok? Terus yang di foto itu siapa? Apa beneran mantannya? "Bapak gak punya adik cewek?"
Pak Ditya menggeleng.
Aku terpaku. Kali ini menggigit-gigiti bibirku, entah kenapa merasa cemas. Mungkin karena mengkhawatirkan nasib Eva jika itu benar adalah mantannya Pak Ditya, meski makin kesini aku mulai ragu dengan alasanku sendiri. Tapi tidak mungkin ini karena cemburu kan? Aku bahkan tak suka padanya!
Menarik nafas, aku mencoba menenangkan diri. "Kalau sepupu, Pak?" Mari positive thinking.
Pak Ditya berpaling dari berkasnya, menatapku ingin tahu. "Kenapa kamu nanyain silsilah keluarga saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...