Sepanjang perjalan Pak Ditya hanya diam, mengendarai mobilnya dengan konsentrasi penuh seakan-akan dia baru saja lulus dari ujian mengemudi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi sepanjang perjalanan aku juga diam, menatap keluar jendela dan melamun. Aku bahkan tak bertanya, kemana tepatnya dia mau membawaku untuk makan. Bermain ponsel saja, aku takut di kira tak sopan.
Akhirnya dia menghentikan mobilnya di salah satu pelataran parkir sebuah Mall. Mematikan mesin mobil dan membuka kunci pintu. Tidak menyuruhku untuk turun, tapi aku mengambil inisiatif sendiri saat dia membuka pintu di sebelah tempat duduknya. Sebenarnya semua ini sangat canggung, termasuk mengikutinya dalam hening memasuki mall dan menuju sebuah restoran yang bahkan tanpa basa basi untuk bertanya aku ingin makan apa.
Kalau tahu begini, aku akan mati-matian bilang ada janji mau makan bersama temanku.
Menu di sodorkan, Pak Ditya melihat menu sekilas dan langsung membuat pesanan. Aku bahkan belum membuka menuku! Dan ketika Pak Ditya dan pelayan yang dipanggilnya menatapku untuk menunggu pesananku, terburu-buru aku memesan apa saja yang pertama kali kulihat di menu, bahkan tak ingat itu apa.
Lalu kemudian, kembali hening.
Pak Ditya menatap keluar--dia memilih tempat duduk di samping jendela kaca besar--bukan pemandangan yang indah sebenarnya, hanya jalan raya yang sibuk. Sementara aku, yang tak tahu harus apa menarik selembar tisu dan melipat-lipatnya sekecil yang aku bisa. Membukanya kembali, dan mengulanginya dari awal.
Lalu pesanan kami datang. Sup iga sapi untuk Pak Ditya, dan untukku--kari kambing?
Aku menghela nafas berat, aku tak suka kambing dalam bentuk apapun. Memikirkan akan memakannya saja membuatku mual, mendorong mangkuk kariku dengan tak bersemangat menjauh dari hadapan aku mengutuk kecerobohan ku sendiri. Untungnya aku memesan minum dengan lebih baik, jadi aku menyesap jus jerukku dalam keadaan sedikit merana. Padahal aku lapar.
Menggigit bibir, akhirnya aku meraih piringku yang berisi nasi putih dan menambahkan emping serta acar. Lalu, merasa begitu mengenaskan aku memakan nasi putih itu dengan keduanya. Yah, setidaknya itu bisa menahan rasa laparku. Bertekad setelah pulang nanti aku mau pergi mencari bakso!
Tapi kemudian, semangkuk sup iga didorong ke hadapanku. Aku mendongak, dan melihat Pak Ditya menarik kari kambingku ke hadapannya. "Cepat makan." Ujarnya datar, dan mulai memakan nasinya dengan kari kambingku.
Aku masih terpukau, bagaimana dia bisa tahu kalau aku tak menyukai menu itu? Lalu, kenapa dia harus menukar dengan miliknya padahal ini adalah kecerobohan ku sendiri? Ini agak mengejutkan, dan entah kenapa tapi aku senang. Padahal sejak tadi dia hanya diam dan tampak tak menyadari kehadiranku. Tapi ternyata dia cukup peka. Kurasa, dosen aneh ini tak semenyebalkan yang kupikir. Dengan agak tersenyum, akupun memakan nasiku kali ini, dengan sup iga.
***
Kata orang, sangat mudah memperbaiki hati seorang gadis. Jika kau membuatnya kenyang, maka dia akan berada dalam mood yang baik sepanjang hari.
Kurasa, itu benar. Karena sekarang, aku bahkan tak keberatan dengan diamnya Pak Ditya. Bahkan kurasa ini menenangkan, tak perlu repot-repot mencari bahan pembicaraan. Aku meneguk jus jerukku yang hampir habis, dan merasa enjoy.
Seorang pelayan datang kemudian, meletakan semangkuk es krim strawberry dengan wafer dan ceri sebagai topping ke hadapanku, dan secangkir kopi untuk Pak Ditya. Aku mengingat-ingat, rasanya tadi aku tidak memesan es krim apapun. Apa pesanan ini salah?
"Anak perempuan suka es krim kan?" Ujar Pak Ditya, aku menatapnya yang tengah mengaduk kopinya dan menyesapnya sekali. "Atau tidak suka?" Mata cokelatnya kemudian memandangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...