"Buka saja pintunya," adalah kata yang pertama kali diucapkan Pak Ditya ketika aku masuk ke ruangannya.
Walaupun heran, aku menurutinya. Sementara hal pertama yang aku syukuri ketika masuk ke ruangan itu adalah, bahwa tempat itu masih tetap sama seperti yang terakhir kali aku tinggalkan. Yang artinya, buku-buku yang ku susun di rak sebelumnya masih berada di tempatnya. Ruangan itu masih berantakan, tapi kerja kerasku sebelumnya tidaklah sia-sia.
"Pagi, Pak." Ucapku, meski sekarang sudah memasuki jam sepuluh.
Pak Ditya mengangguk dan mengulurkan sebuah amplop coklat besar padaku. Aku mengambilnya, dan menyadari bahwa itu adalah ulangan anak-anak semester bawah. "Tolong koreksi itu, lembar jawabannya sudah saya tulis di dalam amplop, setelah itu masukan nilainya ke dalam database, kamu bisa pakai tablet saya nanti." Ujarnya.
Aku mengangguk, dan memeluk amplop itu di dada.
Pak Ditya tak mengatakan apapun lagi, dalam sekejap dia sudah kembali tenggelam pada laptopnya. Jadi, aku meletakan amplop itu di atas sebuah tumpukan buku, dan berjalan ke sudut ruangan, menghampiri si kerangka yang duduk di atas kursi lipat. Area ini belum pernah kusentuh, jadi ada terlalu banyak buku di sini. Dengan hati-hati aku melangkah, berharap tidak tanpa sengaja menginjak salah satu bukunya.
"Hai, yo... Kerangka, gue pinjem bangkunya ya." Ujarku pelan, nyaris berbisik sebelum memindahkan kerangka itu terduduk di atas tumpukan buku. Kemudian, dengan susah payah--agar tidak menginjak satupun buku yang terserak di lantai--akupun membawa bangku lipat itu ke seberang meja Pak Ditya.
"Sunshine." Ujar laki-laki itu tiba-tiba.
Aku yang tengah memposisikan bangku di depannya memandangnya bingung, sementara Pak Ditya sama sekali tak mendongak dari laptopnya. Apa barusan aku berhalusinasi? "Kenapa pak?"
Pak Ditya mengalihkan perhatiannya kepadaku, melipat kedua lengannya di atas meja, kepalanya memberikan gesture kearah kerangka yang ku letakan di atas tumpukan buku "Namanya Sunshine."
Pernah lihat film kartun yang dagu tokohnya jatuh ke lantai? Nah, rasanya kondisiku saat ini sebelas dua belas sama tokoh-tokoh kartun itu. Aku terpana, saking terpananya mulutku bahkan terbuka. Sumpah, ini dosen randomnya keterlaluan! SIAPA JUGA YANG MAU TAHU NAMA MODEL KERANGKANYA!
Menguasai diriku secepat yang bisa kulakukan, aku kemudian duduk di atas kursi. Mengangguk-angguk seakan aku memang bertanya-tanya tentang nama si 'Sunshine', dan bersyukur Pak Ditya membagi informasi rahasia itu. "Oh begitu, Pak?" Ucapku asal menanggapi. "Ngomong-ngomong, kenapa ada model kerangka di sini Pak?" Tanyaku, kali ini murni karena penasaran. Karena siapa yang ga penasaran kalau melihat ada kerangka yang bahkan lebih tinggi dari tubuhmu di ruangan dosen perpajakan? Kalau aku sih, penasaran.
"Kenapa memangnya?" Bukannya menjawab, Pak Ditya malah balik bertanya. Sudah kembali pada laptop tercintanya.
"Ga apa-apa sih, Pak, penasaran aja." Ujarku, mengumpulkan kertas-kertas dan buku-buku di meja. Menumpuknya menjadi satu di ujung meja agar ada ruangan untukku bekerja.
"Oh." Ujarnya singkat.
Aku menunggunya melanjutkan, tapi setelah jeda cukup panjang, aku sadar kalau dia tidak akan melanjutkan kata-katanya. Aku nyaris mengela nafas keras. Benar-benar deh, berhubungan dengan dosen satu ini aku harus banyak-banyak berlatih sabar. Kalau ga, yakin bakal mati berdiri dalam kurun waktu satu bulan!
Jadi, setelah aku memutar mataku dengan malas, aku membuka amplop cokelat yang tadi di berikannya, dan mulai memeriksa satu persatu lembar ulangan di dalamnya. Karena sama-sama tak berbicara, aku merasa ruangan itu lebih sunyi dari kuburan! Setidaknya di kuburan ada yang menangis, entah itu orang atau kuntilanak di atas pohon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...