XXII

32.8K 2.7K 137
                                    

"Gue. Lagi. Nonton. N. C. I. S. Rora!" Adalah kalimat pertama yang di ucapkan Bia ketika aku masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu hanya mengenakan jaket kebesaran dan celana jins biru, rambutnya tergulung asal dengan hanya di tahan sumpit kayu dari salah satu restoran jepang. Menandakan dia terburu-buru untuk datang menjemputku seperti yang kuminta.

"Ini lebih seru dari film detektif lu, Bi." Ucapku, menjulurkan leher dari jendela mobil Bia untuk mencari sebuah Range Rover putih.

"NCIS bukan film detektif."

"Ya udah pokoknya tentang investigasi, sama aja itu."

"Bedalah, Ra! Sherlock baru film detektif."

Aku menoleh padanya dengan wajah datar. "Perlu banget kita bahas itu sekarang?"

"Hellowww! Lu yang nyuruh gue keluar rumah, Ra! Ninggalin TV series gue cuma dengan penjelasan, 'darurat'. Jadi, ya! Itu penting di bahas sekarang."

Aku mengerang dengan keras. Kemudian kembali memperhatikan parkiran, mencari mobil Pak Ditya di antara sekian banyak mobil di sekelilingku. "Ini beneran penting, karena kita akan ngikutin seseorang. Kalau perlu, lu harus pakai kemampuan lu yang terasah dari film-film lu itu! Kita sedang dalam misi memata-matai nih."

"Legal gak tuh?"

"Please deh, Bi! Mana ada memata-matai orang itu legal." Kemudian aku akhirnya menemukan mobil Pak Ditya, yang melaju melewati mobil Bia. Keluar dari parkiran kampus. "Bi! Bi! Bi! Targetnya itu tuh! Range Rover putih, ikutin?"

"Ha?!" Terkejut-kejut aku menepuk-nepuk lengan Bia, memaksanya cepat-cepat menyalakan mobil. Untung mobil Bia matic, jadi bisa dengan mulus mengikuti Pak Ditya dari belakang. "Lu harus punya alasan yang bagus untuk maksa gue jadi kaki tangan lu dalam tindakan ilegal ini!"

"Ini menyangkut keberlangsungan hidup gue, jadi ya, gue punya alasan kuat."

***

Bia dan aku memilih meja di belakang Pak Ditya, untungnya ada sekat yang membatasi jadi kurasa kami bisa tersembunyi dangan baik. Aku menutup wajahku dengan topi, berharap jika dia berbalik dia hanya akan melihat ujung topiku. Sementara tubuhku, ku rendahkan pada sofa yang ku duduki.

Bia juga menutup wajahnya dengan topi, bukan karena dia takut kelihatan Pak Ditya dan Bu Layla, tapi dia merasa tak enak dengan gaya berpakaian dia yang berantakan seperti itu. Padahal menurutku, tak ada yang salah dengannya, dia baik-baik saja.

"Jadi kita ngikutin Pak Ditya sama Bu Layla pacaran? Lu ngerepotin gue cuma buat nyari tahu kencan orang lain?!" Bia memajukan tubuhnya ke arahku, berbicara dengan berbisik-bisik.

"Mereka gak lagi kencan! Mereka kesini buat ngomongin gue!" Ikut memajukan tubuhku, aku balas berbisik.

Seorang pramusaji kemudian mendatangi kami, menanyakan pesanan dan bersiap mencatat. Aku bahkan belum melihat menuku, dan gelagapan membuka buku menu itu. Kali ini aku tidak mau salah memesan.

"Ice lemon tea sama cheese potato wedges." Ujar Bia, masih berbisik. Pramusaji di sebelahnya nyaris menunduk untuk mendengar kata-kata Bia, tapi aku bersyukur gadis itu masih mendukung kehati-hatian ku.

"Saya pesan es krim strawberry." Aku pun ikut berbisik, tak peduli meski kelihatannya pramusaji yang melayani kami merasa kesal, dan buru-buru pergi setelah mencatat pesanan kami.

"Geser, gue gak kedengaran mereka ngomong apa." Bia mengambil alih duduk di sampingku. Memaksaku bergeser kepojok dinding.

"Mereka masih ngomongin basa-basi." Menajamkan telinga, aku berusaha mendengarkan meskipun tubuhku pegal karena duduk dengan merendahkan tubuh.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang